Sabtu, 07 September 2013

YANG MEMBUNYIKAN SAPU TIAP PUKUL 4 PAGI


Pada suatu masa, kehidupan di kota ini hanya diperbolehkan berlangsung hingga pukul 10 malam. Awalnya tidak ada cerita yang jelas mengenai sebab musabab lahirnya peraturan itu, sebagian besar penduduk kota yang taat dan tak suka berdebat hanya menerima lalu menjalankannya sesuai dengan petunjuk, sedang sebagian yang lain mencoba diam-diam keluar rumah dan berkeliaran di jalan-jalan kota untuk mengetahui hukuman apa yang sekiranya akan mereka dapat bila melanggar aturan tersebut. Petunjuk teknis pelaksanaan yang disebarkan pemerintah hanya berisi satu pasal menyankut sanksi; siapapun yang tidak mematuhi aturan ini akan dihukum seberat-beratnya. Ketakutan macam apa yang akan lahir dari pasal yang berbunyi demikian?.

Mereka yang diam-diam berkeliaran di jalan-jalan kota untuk menguji aturan tersebut sebagian besar tak pernah kembali, sebagian lagi kembali tapi tanpa bisa bicara apa-apa. Mereka yang kembali datang dalam keadaan bisu. Berhembus kabar aturan tersebut adalah permintaan nene luhu[1], mereka yang tidak patuh diberi azab sebagai peringatan. Penduduk kota yang taat dan tak suka berdebat menutup pintu rumah mereka rapat-rapat, diam mengunyah nasib jadi kesunyian. Jadi kantuk.

Sejak pemberlakuan aturan yang didukung dengan tersebarnya kabar tentang azab yang menimpa orang-orang yang tidak taat, kota menjadi sunyi. Hanya bisik-bisik yang terdengar pada pukul 11, lalu gelisah pada pukul 12, lalu gerutu pada pukul 1, lalu pasrah pada pukul 2, lalu mendengkur pada pukul 3. Suara dengkuran terdengar keras, seperti sebuah paduan suara, sambung menyambung membentuk gemuruh langit mendung mengundang hujan. Paduan suara dengkuran hanya berlangsung selama satu jam, tepat pukul 4 bunyi sapu akan terdengar memenuhi jalan-jalan kota.

Tak ada yang mengetahu peristiwa itu. Bila paduan suara dengkuran berlangsung hingga pukul 4 dan setelah itu orang-orang pulas dalam mimpi dan igau, tak ada yang tahu bahwa tepat pukul itu sebuah keluarga membunyikan sapu di jalan-jalan kota. Mereka adalah keluarga Petrus.
Keluarga Petrus adalah sebuah keluarga yang terdiri atas Petrus dan Matilda dengan empat orang anak; Matias, Lukas, Yudas dan si bungsu yang perempuan Natanael. Matilda yang berkulit gelap dan berambut rambut ikal. Matilda bertemu Petrus yang berkulit kuning dan berambut lurus pada malam pesta perayaan natal. Bukan … Petrus dan Matilda bukan anak gembala dalam pertunjukan drama penyaliban, keduanya adalah keturunan budak yang dihukum seumur hidup oleh pemerintah untuk menjadi jongos dan pada malam itu bertindak sebagai tukang bersih-bersih. Petrus dan Matilda bercinta di belakang kandang kambing ketika tuan-tuan mereka mabuk dan meringkuk di bawah pohon natal. Keduanya lalu memutuskan berjodoh di bawah pohon kasih, di bawah tangan seorang pendeta yang mereka bayar doanya dengan doa pula.

Pasangan Petrus dan Matilda memiliki kesamaan, keduanya sama-sama tidak dapat menjelaskan perihal identitas. Sebelum bertemu Petrus, Matilda tak pernah tahu berapa umurnya. Kesederhaan konsep saling memiliki membuat Petrus menghibahkan tanggal dan tahun kelahirannya yang kebetulan pernah tertulis dalam sebuah surat keterangan antah berantah untuk Matilda, jadilah keduanya berumur sama dan berulang tahun di tanggal yang sama, 25 desember. Petrus memiliki luka bakar di sekujur tubuh yang tidak dapat dijelaskan asal muasalnya, Matilda beranggapan bahwa suaminya tercinta dilahirkan dari api dan memberontak sebelum semua proses selesai. Matilda menyukai dongeng, sesuatu yang membuat Petrus semakin mencintainya.

Petrus yang bertubuh kecil dan nampak agak bungkuk dipelihara sebagai salah satu pembantu di rumah keluarga Alfons, keluarga keturunan portugis yang berbisnis tanah kuburan. Martin Alfons, kepala keluarga tempat ia bekerja hanya bisa menjelaskan bahwa suatu pagi yang lampau Petrus kecil tergeletak di depan pintu rumahnya tanpa selembar benangpun, laki-laki itu lalu meminta para pembantunya untuk mengurus dan menungguinya hingga sembuh. Setelah menikahi Matilda, sesungguhnya Petrus mengajukan permintaan untuk menentukan nasib sendiri, namun permintaan itu ditolak dan diganti pilihan agar istrinya ikut bekerja di keluarga itu .

Setelah 38 tahun usia pernikahan mereka, setelah ke-3 anak laki-laki mereka telah mengemban tugas turunan, setelah Petrus dan Matilda berhasil mencapai umur 58 tahun yang ditandai dengan uban dan keriput yang melebar, sebuah sengketa menghabisi seluruh nyawa dan harta keluarga Alfons. Keluarga Petrus keluar dari rumah, keluar dari nasib sebagai jongos, mereka akhirnya menentukan nasib sendiri.
Sebelum menceritakan perihal nasib baru Keluarga Petrus, ada dua perkara yang harus dijelaskan. Perkara pertama tentang Petrus dan Matilda yang tidak bisa membaca dan kedua tentang bisu sejak lahir yang dialami ketiga anak laki-laki mereka. Keluarga Petrus membuka lembaran baru hidup mereka dengan menjadi tukang sapu jalan, tepat ketika orang-orang memutuskan membatu di dalam rumah karena larangan keluar diatas pukul 10 malam.

Tak ada satu orangpun yang tahu nasib kebebasan Keluarga Petrus, mereka yang mengenal Keluarga Alfons berspekulasi bahwa keluarga jongos Petrus ikut dihabisi. Sepanjang siang Keluarga Petrus akan mendekam di dalam gua persembunyian dan baru akan keluar pada tengah malam. Ketika orang-orang medekam di dalam rumah pada waktu-waktu yang telah dijelaskan sebelumnya, Keluarga Petrus memasuki kota dengan menenteng sapu.

Matilda bertugas di titik tengah kota sedang ke empat laki-laki mengepungnya dari 4 penjuru angin. Si kecil Natanael yang belum genap setahun dibiarkan bermain di trotoar depan perpustakaan umum, tepat dibawah lampu yang warnanya temaram seperti senja, Matilda memberinya beberapa potong sapu untuk dimainkan setiap malam. Kota ini tidak begitu besar, tidak juga kecil, sebuah keajaiban Keluarga Petrus dapat menyelesaikan pekerjaan mereka kurang dari 1 jam setiap harinya. Adapun apa yang mereka sapu setiap harinya bukan hanya sampah plastik, daun-daun, bangkai tikus yang terlindas tapi juga keserakahan dan ketamakan yang gugur dari pohon-pohon sepanjang jalanan kota.
Sebelum adzan subuh meledak di menara mesjid, Keluarga Petrus sudah melangkah meninggalkan kota.

Tak ada yang lebih menyedihkan dari keadaan tidak menyadari sesuatu karena dihantui perasaan takut, gagal menyampaikan keinginan karena sudah menyerah pada keadaan sebelum melakukan sesuatu, begitulah gambaran orang-orang di kota ini pada masa itu. 15 menit sebelum batas waktu yang telah ditentukan, orang-orang tergesa-gesa mengatur kepulangan, kasak-kusuk seperti melihat maut berkeliaran siap memangsa siapa saja yang terlambat. Lalu ketika pagi, orang-orang menjadi tidak menyadari keadaan di sekitarnya, mereka tak menyadari bahwa kota mereka tetap bersih dan rapi meski tak ada satupun dari mereka yang berani keluar rumah.

Keadaan seperti ini bertahan selama hampir dua tahun hingga suatu hari pemerintah pusat yang datang berkunjung menuturkan kekaguman mereka kepada pemerintah kota akan kebersihan dan kerapian kotanya. Pemerintah kota menerima pujian tersebut dengan sumringah, dengan cepat kotanya mendapat apresiasi sebagai kota “terbersih” dan “terapih”, dengan diam-diam pula pemerintah kota sadar dan merasa dikhianati, orang-orang kota itu mulai berbisik-bisik dan mencari-cari celah untuk mengintip apa yang sebenarnya terjadi.

“ Artinya ada yang membersihkan kota setiap malam? “

Berapa jumlah mereka? Dari mana mereka datang? Apakah mereka tidak mengetahui perihal aturan dan hukuman azab yang menimpa orang-orang dahulu? Pertanyaan demi pertanyaan mengelinding jadi bola salju, pemerintah memasang mata-mata dan menyebar pengalihan isu.

“ SEBAGAI WARGA KOTA YANG TAAT DAN TAK SUKA BERDEBAT, ANDA SEKALIAN HARUS PERCAYA BAHWA HAL-HAL YANG DIANGGAP GANJIL MENGENAI KEBERSIHAN DAN KERAPIAN KOTA MERUPAKAN HASIL KONSOLIDASI TERBATAS ANTARA PEMERINTAH DENGAN NENE LUHU. TETAPLAH MENJALANKAN ATURAN DENGAN BAIK DAN NIKMATI KEHIDUPAN DENGAN AMAN SENTOSA”

Suheli merobek pamflet yang dipungutnya dari bibir got, pamflet-pamflet itu disebar dengan pesawat, jatuh seperti bom.

“ Omong kosong “

Orang-orang lekas percaya, lekas sembuh dari rasa keingintahuan mereka. Di lain tempat, Keluarga Petrus hidup bahagia dan tetap menjalankan pekerjaan mereka seperti biasa. Dalam sebuah diskusi meja makan, diskusi yang berlangsung dalam bahasa yang mereka sepakati, Matias bertanya kepada Petrus;
Bila yang kita lakukan setiap malam adalah pekerjaan, mengapa tidak pernah dapat upah?”

Paulus menjawab si sulung dengan tenang “ Tuhan yang akan membayar kita ”

Lukas meminta penjelasan lebih lanjut “Kapan itu?”

“ Nanti kalau sudah mati ”

Yudas yang kritis dan cenderung menunjukan sikap pemberontakan mendesak paparan lanjutan “ Dengan apa tuhan membayarnya? Apa orang-orang lain tidak mengetahui ini? Mengapa hanya kita yang melakukan?”

Petrus menatap ketiga anak laki-lakinya  “ Tuhan akan membayar kita dengan perlakuan yang baik, dengan tempat yang seribu kali lebih layak dari tempat kita berada sekarang. “ sayup-sayup suara ombak pecah di karang masuk ke dalam dadanya, jadi pelajaran. “ Mungkin orang-orang tidak mengetahui, atau mungkin mengetahui tetapi sibuk, mungkin pula cuma kita yang memilih peduli. Bila anak-anakku percaya kita sedang melakukan sebuah kebaikan, percayalah kita tidak akan merusaknya dengan berhitung dan terlalu banyak bertanya.”

Tangis si bungsu Natanael pecah, tangis itu selalu terjadi beberapa menit sebelum pergantian hari, tanda Keluarga Petrus harus bergegas keluar goa. Matilda memeluk si bungsu, kepada Petrus dikabarkan bahwa bayi perempuan mereka mengalami panas tinggi. Petrus memutuskan agar Matilda tetap tinggal untuk menjaga si bungsu, bersama ketiga anak laki-laki dia akan memasuki kota. Perpisahan Keluarga Petrus terjadi malam itu, perpisahan pertama karena sebelumnya mereka selalu bersama.

Di suatu tempat yang jauh di pinggiran kota, Suheli menangis, anak tanggung itu sedang mendengar hasil penyadapan percakapan Keluarga Petrus malam itu. Suheli mencoba menjadi seperti kebanyakan orang yang gemar berspekulasi, baginya Petrus adalah manusia suci.

Petrus dan Ke-3 anak laki-lakinya membunyikan sapu seperti biasa, membersihkan kotoran-kotoran akal sehat yang lupa dibersihkan. Baru saja bapak dan anak-anak laki-lakinya ini akan bertemu di titik tengah, subuh pecah di menara mesjid. Waktu habis, matahari menyingsing begitu cepat, Petrus dan tiga anak laki-lakinya yang bisu terjebak di dalam kota yang tiba-tiba menjadi ramai. Ke-4 orang ini berlari meninggalkan pekerjaan yang belum sepenuhnya selesai, telanjang kaki dan gagap akan cahaya membuat mereka nampak seperti maling yang kebingungan karena tertangkap. Orang-orang yang melihat peristiwa janggal itu langsung mengejar, mereka benar-benar mengira Petrus dan anak-anaknya adalah maling atau pengacau yang baru saja gagal melakukan kejahatan. Keriuhan terjadi, Suheli diantara kerumunan orang-orang, dia berteriak-teriak histeris.

Di sebuah perempatan Petrus, Matias, Lukas dan Yudas bertemu, orang-orang mengurung mereka seperti ayam yang terperangkap. Suara-suara penghakiman keluar dari mulut mereka yang gagal mengunyah asumsi. Petrus mencoba mencoba berusaha menyampaikan sesuatu, tapi ia gagap. Ke-3 anak laki-lakinya tak bisa diharap.

“ Lihat … Lihat mereka bisu. Mereka pasti berniat jahat dan mendapat azab Nene Luhu. Ayo habisi mereka.”

Suara itu seperti cambuk. Kalap.

Suheli histeris di salah satu sudut jalan, berteriak-teriak tak karuan. Dia merasa hancur dan gagal.
“ Ini hukaman buat kalian yang berniat jahat.”
“ Ini juga untuk kalian yang mengacau.“
“ Ini untuk kalian yang tak patuh terhadap aturan.“ 
Semua “ini” menjadi alamat dari tinju, sepakan, hantaman-hantaman telak dari puluhan orang yang mengerubungi ke-4 laki-laki yang menerima tanpa balas itu. Suheli menangis, terisak lalu kehilangan kesadaran nya.

---

Matahari menembus celah-celah goa, Matilda menimang Natanael yang tertidur. Sudah dua hari Petrus dan Ketiga anaknya tidak kembali. Matilda menarik nafas panjang, meminjam ketabahan ombak yang pecah di karang, ketabahan yang puluhan tahun diajarkan suaminya.

Di kota, surat-surat kabar laku keras dengan berita dan cerita seputar matinya 4 penjahat. Pemerintah memberikan statement, perihal azab yang didapat orang-orang yang tidak patuh menjalankan aturan. Kota kembali kotor, tak terurus, tapi siapa yang peduli, sebuah keberhasilan sedang dirayakan.
Suheli menarik nafas panjang. Paduan suara dengkuran baru saja selesai, di depannya tergolek 4 batang sapu lidi milik 4 orang yang mati dihakimi massa. Dengan tungkai kaki dan lengan-lengan yang lemas Suheli meraih ke-4 batang sapu tersebut lalu dijadikan satu. Suheli membunyikan sapu itu di jalanan kota, dia menangis, tak sanggup dia melakukan apa yang dilakukan keluarga petrus. Dia menangis, hanya menangis.

Ketika pemerintahan diganti dan   aturan dicabut, Suheli tahu rahasia lahirnya peraturan larangan keluar malam yang mengikat penduduk kota selama bertahun-tahun.

Mereka (pemerintah) takut dengan malam, takut dengan orang-orang yang berdamai dengan malam dan mampu meminjam kebaikan di dalamnya. Mereka takut ketika mereka malas dan lelap tertidur, orang-orang masih bergaul, masih menyusun rencana perbaikan yang tak mampu mereka kerjakan, Suheli menulis dalam catatannya. Kemudian dia hanya bisa menangis lagi.



[1] Nene Luhu, dalam mitologi lokal di Pulau Seram, Ambon dan Lease dikenal sebagai hikayat hantu lokal dalam wujud seorang perempuan yang menculik anak-anak di malam hari.  

Kamis, 25 April 2013

BAYANGANKU TERTINGGAL SAAT KAMU TERTIDUR PULAS.


Sayangku …

Aku sedang memandang lukisan no 29 yang sengaja kupajang di sebuah jendela baru, lukisan yang didominasi warna merah, lalu hitam, lalu merah hitam, kuning, putih dan hijau itu diberi judul oleh pemiliknya cinta seorang penyair. Aku tidak mengerti benar mengapa aku bisa menyukai lukisan itu, gambarnya absurd, pemahamanku yang terbatas hanya mampu membaca lukisan itu sebagai seseorang (mungkin perempuan) yang sedang berkuda dan memegangi hati di dalam dadanya. Aku menemukan sebuah kesulitan yang sedang dihadapi tokoh dalam lukisan itu, sebuah kesulitan yang hingga akhir paragraf ini ditulis tidak kutemukan kalimat yang tepat untuk mengungkapkannya.

Lalu aku mencari-cari sebab, mencari-cari celah agar bila setelah kugambarkan untukmu lukisan tersebut dan kamu bertanya perihal mengapa aku menyukainya, kamu bisa lekas kuberi jawaban. Ada beberapa kemungkinan; pertama, aku mungkin menyukai lukisan tersebut karena didominasi warna merah dan kamu tentu tahu bahwa merah dengan sedikit hitam adalah favoritku. Kedua, aku mungkin menyukai lukisan tersebut karena gambarnya absurd sehingga tidak kumengerti. Aku merasa gambar tersebut menaikan derajat seleraku dari seorang penyuka gambar gunung yang dibentuk oleh komposisi 2 segitga sama kaki dengan puncak yang tidak runcing dan matahari yang memiliki mata, hidung mulut yang dibuat sumringah melengkungkan senyum mengisi ceruk diantara kedua segitiga yang biasa ditemukan di taman kanak-kanak menjadi selera dewasa yang menyukai ketidakjelasan. Adanya ketidakjelasan dalam hidup seorang dewasa memang menjadi sesuatu yang memabukan, selalu dinanti-nanti dan bisa mengakibatkan sebuah ciuman panjang. Ketiga, aku mungkin menyukai lukisan tersebut karena judulnya. Ada perasaan sentimental yang lahir sebagai akumulasi dari dua kemungkinan sebelumnya ketika aku menemukan judul seperti terbilang di  atas pada kaki jendelanya. Aku seseorang yang sentimental katamu, maka begitu kemungkinan ini kurasa sebagai kemungkinan paling layak untuk kukirim padamu nanti. Itulah tiga kemungkinan yang kutemukan, sebab dan celah yang kucari-cari. Dari tiga kemungkinan di atas, sungguh aku punya sebuah kemungkinan lain yang tidak kucari-cari sebab dan celahnya. Aku menyebutnya emungkinan keempat. Kemungkinan betapa aku menyukai lukisan tersebut karena dialah yang menemaniku menunggu telponmu. Inilah kemungkinan paling jujur, paling benar dan paling tidak perlu kujelaskn karena kamu tahu betapa aku selalu rindu padamu.

Jumat, 26 Oktober 2012

KAMBING-KAMBING IBU


Ibu mencintaiku. Katanya cintanya padaku melebihi cintanya kepada kambing-kambingnya. Tapi aku tidak percaya, aku selalu merasa ibu lebih mencintai kambing-kambing peliharannya daripada mencintaiku yang jelas-jelas adalah anaknya. Perasaan memang selalu lebih kuat ketimbang akal sehat tapi sebaliknya perasaanlah yang lebih sering melakukan kesalahan ketimbang akal sehat. Aku memiliki sebuah kesalahan karena perasaan, kesalahan yang membuatku selalu merasa buruk dimata rinduku kepada ibu.

Aku tak tahu benar kapan pertama kali ibu punya kambing dan dengan berapa ekor kambing dirinya mulai membaktikan diri kepada hewan yang terkenal bau karena takut air tersebut. Ketika aku umur 5 tahun, aku sudah mendapati halaman belakang kami yang luas penuh dengan kambing. Ibu bilang dia membeli beberapa ekor kambing ketika ayah meninggal. Aku tidak sepenuhnya percaya dengan cerita itu, sebab aku merasa ibu telah hidup beratus-ratus tahun dengan kambing-kambing peliharannya hingga memiliki rasa sayang yang lebih sering kuanggap sebagai bentuk ketidakadilannya kemudian. Tapi bahwa adapun cerita itu benar adanya, entang berapa jumlah yang dibelinya pertama kali ibu tidak pernah menceritakannya.

Jumat, 27 Juli 2012

#CerpenPeterpan: Surat Kepada Maria


Di penghujung tahun, waktu akan terasa lambat di Victoria Park. Sepanjang Losari yang biasanya ramai akan mendadak sepi karena ditinggal tutup cafe-cafe tenda yang tidak mampu menolak ombak yang pecah di talud lalu muntah ke jalan. Laut pasang dan hujan yang menolak reda adalah kemanisan yang selalu minta ditangisi lebih dalam.

Bagaimana langit bisa dalam cuaca yang mendung langit menyemburkan gincu merah ketika pagi dan petang? Victoria Park punya jawaban yang tidak bisa disangkal, satu dari sekelumit alasan yang membuat Aluta selalu kembali ke sana sepanjang hari di bulan desember.

Waktu bisa berhenti berputar, tapi tidak kenangan.

“Bapak saya pejuang, mati dan mungkin dikubur di sana” Aluta menunjuk tanah lapang di bagian barat Victoria Park, tepat di bawah benteng.

“Kamu mungkin butuh teh untuk menghangatkan badan. Ibuku berjualan di sana” anak laki-laki yang diajak Aluta bicara menunjuk pondok kecil di sisi kiri jalan “saya bisa pesankan untukmu asal kamu beri saya persenan” tambahnya.

“Kapan ada kereta datang?” Tanya Aluta

Anak laki-laki yang ditanyai Aluta merogoh sapu dari dalam tasnya dan menyapu genangan air di bangku taman “sebentar lagi senja, tapi cuaca sedang kacau balau” jawab si anak laki-laki sambil menatap lurus ke Aluta yang sudah berjongkok di sampingnya sambil menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan.

Senin, 04 Juni 2012

Panggung Hujan


Benarkah hujan adalah parade air mata sekelompok orang yang mendiami sebuah kota bernama kesedihan? Atau benarkah hujan adalah kebahagiaan seorang putri cantik rupawan yang bila semakin bahagia akan semakin berairmata? Seorang penyair bersajak bahwa hujan adalah semata air yang bergerak vertikal, dari atas ke bawah lalu penyair lain menyebut juni sebagai hujan. Aku lebih menerima yang terakhir. Hujan versi penyair ke dua; hujan dan bulan juni.

Bila benar hujan adalah air mata orang-orang yang mendiami kota bernama kesedihan, pastilah sudah lunas rasa keingin tahuanku sejak kecil  perihal hujan. Aku selalu bertanya mengapa ibu selalu melarangku bermain hujan. Aku pernah berpikir bahwa hujan adalah monster besar dengan wajah yang sangat buruk dan mata yang bernanah. Berjam-jam aku duduk di mengencani daun jendela ketika hujan turun, sembari terus bersiaga untuk bisa segera menutup jendela bila ternyata benar hujan adalah monster mengerikan seperti yang aku bayangkan. Hingga aku dibangunkan sinar matahari karena tertidur di jendela, aku tidak bisa membuktikan apa yang aku bayangkan. Aku lalu berhenti menganggap hujan sebagai monster dengan mata bernanah.

Mengapa ibu melarangku bermain hujan? Tanyaku pada ibu. Aku tidak pernah bertanya apa-apa tentang apa-apa kepada ibu termasuk tentang hujan, tapi kali itu aku memberanikan diri. Ibu tersenyum dan menjawabku pelan. Kamu akan sakit bila bermain hujan, kata ibu. Aku terdiam mengamati wajah ibuku lama lalu memutuskan untuk tidak lagi bertanya. Ibu teramat sangat mencintaiku, maka begitu dia tak mau menginginkan aku sakit, pikirku.

Jumat, 18 November 2011

.... dan kita bukan dua orang tolol

Dia bertanya sampai kapan aku akan mengenakan celana jeans, berkaos, berambut gondrong, brewokan dan yang paling klise, kapan aku berhenti merokok. Dia baru saja pulang, melempar tas jinjing LV 6 jutanya ke sova dan ikut ambruk setelahnya. Seperti biasa aku tak menjawab, alih – alih untuk menggubrispun tidak. Tapi aku juga tak berniat apalagi sampai berfikir untuk mengelak, karena seperti biasa aku hanya akan menatapnya dan tersenyum. Sudah sepuluh tahun lebih pertanyaan itu hadir dan selalu dengan skema yang sama. Jeans, kaos, rambut gondrong, brewok dan rokok. Susunannya tak pernah berubah dan sebelum kalimat yang tidak pernah berubah berikutnya keluar karena kembali hanya menemukan aku yang memandangi wajahnya dan tersenyum, aku cepat – cepat memotongnya.

“ kalo kamu ga ikutin mau aku. Aku bakalan pergi ninggalin kamu “

Mata kami bertemu dan dia tak mampu menahan.

“ dasar keras kepala. ga pernah mau dengerin apa kata aku dan skarang malah bisanya cuma ngejek “

“ aku bener – bener bakal ninggalin kamu “

Aku berusaha menahan senyumku berikutnya, merubahnya dengan aksi “ehem – ehem“ demi menyembunyikan kenyataan menggelitik karena kalimat terakhirnya juga sama banyaknya diucapkan dengan pertanyaan - pertanyaan dan ancaman yang diberikannya perihal semua hal yang tak pernah tulus diterimanya. Tapi kenyataannya dia selalu pulang. Lebih cepat dihari senin, rabu, jumat dan selalu terlambat dihari – hari selain hari – hari itu. Tapi sekali lagi dia selalu pulang. pulang dengan membawa aroma yang paling sensitif untuk aku baui, Membawa raut simpati yang selalu aku senangi dan tentu saja pribadi terdekat yang dengan biasa – biasa saja kujadikan sasaran untuk mencemplungkan diri dengan seribu satu ide dan cerita.

Nyamuk jagoan dan 200 ekor cakcakcak


Sedetik kami diam. Saling diam lebih tepatnya. Sedetik lagi kami hanya saling menatap. Bertatapan kurang lebih. Sedetik kemudian mulut terbuka hendak mengucapkan sesuatu. Sama – sama hendak mengucapkan seuatu lebih tepatnya. Sedetik kemudian kami hanya mampu saling menatap, diam dan tersenyum. Saling diam, saling tatap, saling senyum tanpa kata, tanpa bahasa tanpa apapun selain diam, tatapan dan senyuman. Detik – kedetik. Detik kemenit.

Lama aku diam. Begitu juga dia. Kami hening tanpa suara dilatari awan yang berarak membawa gemuruh sebagai tanda langit akan segera mencucurkan hujan. Bibir terkunci rapat hanya mata yang kuat menghujam. Kami saling menatap, tajam dan seperti tak lagi menangkap objek lain selain bola mata kami masing – masing. Langit sudah mendung. titik – titik airpun jatuh pelan – pelan dikening, menetes pada masing - masing senyum yang mengembang.

Aku tahu ada isyarat, ada padaku juga ada padanya. Deretan nada – nada minor membuka rentetan kata – kata kecil, kalimat – kalimat biasa juga paragraf – paragraf sederhana menuju cerita besar, tidak biasa juga istimewa. Aku percaya dan yakin sungguh, betapa hal – hal sederhana yang tak terencana dengan baik akan jauh lebih menarik dari pada sebuah rencana besar yang masterplan-nya digambar diatas millimeter block dan pastinya terutkan dengan rapi sehingga dengan asumsi sederhana itu artinya isyarat kami memutarkan tiap – tiap rol film dengan gambar – gambar dari peran yang berbeda namun sama – sama memiliki tema besar; ketertarikan.

Sabtu, 02 Juli 2011

Simpang di Bulan Juni

Berapa banyak orang yang akan mati dalam kebohongan yang terus diproduksi zaman edan ini ? dirinya berdesis, laki-laki kurus dikursi kayu itu sudah duduk lebih dari setengah malam. Jalanan masih ramai saat dirinya tiba, kini tersisa tukang-tukang becak yang berjejer merayu ibu-ibu tukang nasi kuning. Mungkin tukang-tukang becak itu memang tidak sedang merayu, mereka hanya sekedar melepas lelah dengan bercengkrama dengan ibu-ibu tukang nasi kuning yang sudah mulai kekurangan pekerjaan karena orang-orang sudah lebih memilih tidur dari pada makan. Lagi pula mereka tidak akan bisa bercinta dipinggir jalan itu desisnya lagi, tawa mereka hanya terlalu keras dan begitulah ternyata mereka telah mampu membayar sebuah kebahagiaan dengan terbahak-bahak memecahkan langit yang sebentar lagi disambut bunyi adzan.

Laki-laki kurus itu bukan kurang kerjaan, tapi malam ini—itulah pekerjaannya; duduk dan menunggu. Ngantuknya sudah pulang sejak tadi, diusir kecemasan yang sebenarnya tidak begitu beralasan. Diliriknya ibu berbadan agak gemuk yang duduk dikursinya, tidak tersenyum—tidak berkata apa-apa, hanya diam. Tak biasa baginya ibu berbadan agak gemuk itu berdiam diri, dia memang tidak termasuk kelompok ibu-ibu penjual nasi kuning yang menanti digombali abang-abang tukang becak untuk tertawa terbahak-bahak juga bukan golongan orang-orang yang merasa terpuaskan hasratnya setelah bersenggama dengan kata-kata menghujat kejelekan orang lain, dia seseorang yang selalu tersenyum dan bertegur sapa dengan siapapun yang datang kecuali malam ini.