Pada suatu masa, kehidupan di kota ini hanya diperbolehkan
berlangsung hingga pukul 10 malam. Awalnya tidak ada cerita yang jelas mengenai
sebab musabab lahirnya peraturan itu, sebagian besar penduduk kota yang taat
dan tak suka berdebat hanya menerima lalu menjalankannya sesuai dengan
petunjuk, sedang sebagian yang lain mencoba diam-diam keluar rumah dan
berkeliaran di jalan-jalan kota untuk mengetahui hukuman apa yang sekiranya
akan mereka dapat bila melanggar aturan tersebut. Petunjuk teknis pelaksanaan
yang disebarkan pemerintah hanya berisi satu pasal menyankut sanksi; siapapun yang tidak mematuhi aturan ini akan
dihukum seberat-beratnya. Ketakutan macam apa yang akan lahir dari pasal
yang berbunyi demikian?.
Mereka yang diam-diam berkeliaran di jalan-jalan kota
untuk menguji aturan tersebut sebagian besar tak pernah kembali, sebagian lagi
kembali tapi tanpa bisa bicara apa-apa. Mereka yang kembali datang dalam
keadaan bisu. Berhembus kabar aturan tersebut adalah permintaan nene luhu[1],
mereka yang tidak patuh diberi azab sebagai peringatan. Penduduk kota yang
taat dan tak suka berdebat menutup pintu rumah mereka rapat-rapat, diam
mengunyah nasib jadi kesunyian. Jadi kantuk.
Sejak pemberlakuan aturan yang didukung dengan tersebarnya
kabar tentang azab yang menimpa orang-orang yang tidak taat, kota menjadi
sunyi. Hanya bisik-bisik yang terdengar pada pukul 11, lalu gelisah pada pukul
12, lalu gerutu pada pukul 1, lalu pasrah pada pukul 2, lalu mendengkur pada
pukul 3. Suara dengkuran terdengar keras, seperti sebuah paduan suara, sambung
menyambung membentuk gemuruh langit mendung mengundang hujan. Paduan suara
dengkuran hanya berlangsung selama satu jam, tepat pukul 4 bunyi sapu akan
terdengar memenuhi jalan-jalan kota.
Tak ada yang mengetahu peristiwa itu. Bila paduan suara
dengkuran berlangsung hingga pukul 4 dan setelah itu orang-orang pulas dalam
mimpi dan igau, tak ada yang tahu bahwa tepat pukul itu sebuah keluarga
membunyikan sapu di jalan-jalan kota. Mereka adalah keluarga Petrus.
Keluarga Petrus adalah sebuah keluarga yang terdiri atas
Petrus dan Matilda dengan empat orang anak; Matias, Lukas, Yudas dan si bungsu
yang perempuan Natanael. Matilda yang berkulit gelap dan berambut rambut ikal.
Matilda bertemu Petrus yang berkulit kuning dan berambut lurus pada malam pesta
perayaan natal. Bukan … Petrus dan Matilda bukan anak gembala dalam pertunjukan
drama penyaliban, keduanya adalah keturunan budak yang dihukum seumur hidup
oleh pemerintah untuk menjadi jongos dan pada malam itu bertindak sebagai
tukang bersih-bersih. Petrus dan Matilda bercinta di belakang kandang kambing
ketika tuan-tuan mereka mabuk dan meringkuk di bawah pohon natal. Keduanya lalu
memutuskan berjodoh di bawah pohon kasih, di bawah tangan seorang pendeta yang
mereka bayar doanya dengan doa pula.
Pasangan Petrus dan Matilda memiliki kesamaan, keduanya
sama-sama tidak dapat menjelaskan perihal identitas. Sebelum bertemu Petrus,
Matilda tak pernah tahu berapa umurnya. Kesederhaan konsep saling memiliki
membuat Petrus menghibahkan tanggal dan tahun kelahirannya yang kebetulan
pernah tertulis dalam sebuah surat keterangan antah berantah untuk Matilda,
jadilah keduanya berumur sama dan berulang tahun di tanggal yang sama, 25
desember. Petrus memiliki luka bakar di sekujur tubuh yang tidak dapat
dijelaskan asal muasalnya, Matilda beranggapan bahwa suaminya tercinta
dilahirkan dari api dan memberontak sebelum semua proses selesai. Matilda
menyukai dongeng, sesuatu yang membuat Petrus semakin mencintainya.
Petrus yang bertubuh kecil dan nampak agak bungkuk
dipelihara sebagai salah satu pembantu di rumah keluarga Alfons, keluarga
keturunan portugis yang berbisnis tanah kuburan. Martin Alfons, kepala keluarga
tempat ia bekerja hanya bisa menjelaskan bahwa suatu pagi yang lampau Petrus
kecil tergeletak di depan pintu rumahnya tanpa selembar benangpun, laki-laki
itu lalu meminta para pembantunya untuk mengurus dan menungguinya hingga sembuh.
Setelah menikahi Matilda, sesungguhnya Petrus mengajukan permintaan untuk
menentukan nasib sendiri, namun permintaan itu ditolak dan diganti pilihan agar
istrinya ikut bekerja di keluarga itu .
Setelah 38 tahun usia pernikahan mereka, setelah ke-3 anak
laki-laki mereka telah mengemban tugas turunan, setelah Petrus dan Matilda
berhasil mencapai umur 58 tahun yang ditandai dengan uban dan keriput yang
melebar, sebuah sengketa menghabisi seluruh nyawa dan harta keluarga Alfons.
Keluarga Petrus keluar dari rumah, keluar dari nasib sebagai jongos, mereka
akhirnya menentukan nasib sendiri.
Sebelum menceritakan perihal nasib baru Keluarga Petrus,
ada dua perkara yang harus dijelaskan. Perkara pertama tentang Petrus dan
Matilda yang tidak bisa membaca dan kedua tentang bisu sejak lahir yang dialami
ketiga anak laki-laki mereka. Keluarga Petrus membuka lembaran baru hidup
mereka dengan menjadi tukang sapu jalan, tepat ketika orang-orang memutuskan
membatu di dalam rumah karena larangan keluar diatas pukul 10 malam.
Tak ada satu orangpun yang tahu nasib kebebasan Keluarga
Petrus, mereka yang mengenal Keluarga Alfons berspekulasi bahwa keluarga jongos
Petrus ikut dihabisi. Sepanjang siang Keluarga Petrus akan mendekam di dalam
gua persembunyian dan baru akan keluar pada tengah malam. Ketika orang-orang
medekam di dalam rumah pada waktu-waktu yang telah dijelaskan sebelumnya,
Keluarga Petrus memasuki kota dengan menenteng sapu.
Matilda bertugas di titik tengah kota sedang ke empat
laki-laki mengepungnya dari 4 penjuru angin. Si kecil Natanael yang belum genap
setahun dibiarkan bermain di trotoar depan perpustakaan umum, tepat dibawah
lampu yang warnanya temaram seperti senja, Matilda memberinya beberapa potong
sapu untuk dimainkan setiap malam. Kota ini tidak begitu besar, tidak juga
kecil, sebuah keajaiban Keluarga Petrus dapat menyelesaikan pekerjaan mereka
kurang dari 1 jam setiap harinya. Adapun apa yang mereka sapu setiap harinya
bukan hanya sampah plastik, daun-daun, bangkai tikus yang terlindas tapi juga
keserakahan dan ketamakan yang gugur dari pohon-pohon sepanjang jalanan kota.
Sebelum adzan subuh meledak di menara mesjid, Keluarga
Petrus sudah melangkah meninggalkan kota.
Tak ada yang lebih menyedihkan dari keadaan tidak
menyadari sesuatu karena dihantui perasaan takut, gagal menyampaikan keinginan
karena sudah menyerah pada keadaan sebelum melakukan sesuatu, begitulah
gambaran orang-orang di kota ini pada masa itu. 15 menit sebelum batas waktu
yang telah ditentukan, orang-orang tergesa-gesa mengatur kepulangan,
kasak-kusuk seperti melihat maut berkeliaran siap memangsa siapa saja yang
terlambat. Lalu ketika pagi, orang-orang menjadi tidak menyadari keadaan di
sekitarnya, mereka tak menyadari bahwa kota mereka tetap bersih dan rapi meski
tak ada satupun dari mereka yang berani keluar rumah.
Keadaan seperti ini bertahan selama hampir dua tahun
hingga suatu hari pemerintah pusat yang datang berkunjung menuturkan kekaguman
mereka kepada pemerintah kota akan kebersihan dan kerapian kotanya. Pemerintah
kota menerima pujian tersebut dengan sumringah, dengan cepat kotanya mendapat
apresiasi sebagai kota “terbersih” dan “terapih”, dengan diam-diam pula
pemerintah kota sadar dan merasa dikhianati, orang-orang kota itu mulai
berbisik-bisik dan mencari-cari celah untuk mengintip apa yang sebenarnya
terjadi.
“ Artinya ada yang membersihkan kota setiap malam? “
Berapa jumlah mereka? Dari mana mereka datang? Apakah
mereka tidak mengetahui perihal aturan dan hukuman azab yang menimpa
orang-orang dahulu? Pertanyaan demi pertanyaan mengelinding jadi bola salju,
pemerintah memasang mata-mata dan menyebar pengalihan isu.
“ SEBAGAI WARGA KOTA YANG TAAT
DAN TAK SUKA BERDEBAT, ANDA SEKALIAN HARUS PERCAYA BAHWA HAL-HAL YANG DIANGGAP
GANJIL MENGENAI KEBERSIHAN DAN KERAPIAN KOTA MERUPAKAN HASIL KONSOLIDASI
TERBATAS ANTARA PEMERINTAH DENGAN NENE LUHU. TETAPLAH MENJALANKAN ATURAN DENGAN
BAIK DAN NIKMATI KEHIDUPAN DENGAN AMAN SENTOSA”
Suheli merobek pamflet yang dipungutnya dari bibir got,
pamflet-pamflet itu disebar dengan pesawat, jatuh seperti bom.
“ Omong kosong “
Orang-orang lekas percaya, lekas sembuh dari rasa
keingintahuan mereka. Di lain tempat, Keluarga Petrus hidup bahagia dan tetap
menjalankan pekerjaan mereka seperti biasa. Dalam sebuah diskusi meja makan,
diskusi yang berlangsung dalam bahasa yang mereka sepakati, Matias bertanya
kepada Petrus;
Bila yang kita lakukan setiap malam adalah pekerjaan,
mengapa tidak pernah dapat upah?”
Paulus menjawab si sulung dengan tenang “ Tuhan yang akan
membayar kita ”
Lukas meminta penjelasan lebih lanjut “Kapan itu?”
“ Nanti kalau sudah mati ”
Yudas yang kritis dan cenderung menunjukan sikap
pemberontakan mendesak paparan lanjutan “ Dengan apa tuhan membayarnya? Apa
orang-orang lain tidak mengetahui ini? Mengapa hanya kita yang melakukan?”
Petrus menatap ketiga anak laki-lakinya “ Tuhan akan membayar kita dengan
perlakuan yang baik, dengan tempat yang seribu kali lebih layak dari tempat
kita berada sekarang. “ sayup-sayup suara ombak pecah di karang masuk ke dalam
dadanya, jadi pelajaran. “ Mungkin orang-orang tidak mengetahui, atau mungkin
mengetahui tetapi sibuk, mungkin pula cuma kita yang memilih peduli. Bila
anak-anakku percaya kita sedang melakukan sebuah kebaikan, percayalah kita
tidak akan merusaknya dengan berhitung dan terlalu banyak bertanya.”
Tangis si bungsu Natanael pecah, tangis itu selalu terjadi
beberapa menit sebelum pergantian hari, tanda Keluarga Petrus harus bergegas
keluar goa. Matilda memeluk si bungsu, kepada Petrus dikabarkan bahwa bayi
perempuan mereka mengalami panas tinggi. Petrus memutuskan agar Matilda tetap
tinggal untuk menjaga si bungsu, bersama ketiga anak laki-laki dia akan
memasuki kota. Perpisahan Keluarga Petrus terjadi malam itu, perpisahan pertama
karena sebelumnya mereka selalu bersama.
Di suatu tempat yang jauh di pinggiran kota, Suheli
menangis, anak tanggung itu sedang mendengar hasil penyadapan percakapan
Keluarga Petrus malam itu. Suheli mencoba menjadi seperti kebanyakan orang yang
gemar berspekulasi, baginya Petrus adalah manusia suci.
Petrus dan Ke-3 anak laki-lakinya membunyikan sapu seperti
biasa, membersihkan kotoran-kotoran akal sehat yang lupa dibersihkan. Baru saja
bapak dan anak-anak laki-lakinya ini akan bertemu di titik tengah, subuh pecah
di menara mesjid. Waktu habis, matahari menyingsing begitu cepat, Petrus dan
tiga anak laki-lakinya yang bisu terjebak di dalam kota yang tiba-tiba menjadi
ramai. Ke-4 orang ini berlari meninggalkan pekerjaan yang belum sepenuhnya
selesai, telanjang kaki dan gagap akan cahaya membuat mereka nampak seperti
maling yang kebingungan karena tertangkap. Orang-orang yang melihat peristiwa
janggal itu langsung mengejar, mereka benar-benar mengira Petrus dan
anak-anaknya adalah maling atau pengacau yang baru saja gagal melakukan
kejahatan. Keriuhan terjadi, Suheli diantara kerumunan orang-orang, dia
berteriak-teriak histeris.
Di sebuah perempatan Petrus, Matias, Lukas dan Yudas
bertemu, orang-orang mengurung mereka seperti ayam yang terperangkap.
Suara-suara penghakiman keluar dari mulut mereka yang gagal mengunyah asumsi.
Petrus mencoba mencoba berusaha menyampaikan sesuatu, tapi ia gagap. Ke-3 anak
laki-lakinya tak bisa diharap.
“ Lihat … Lihat mereka bisu. Mereka pasti berniat jahat
dan mendapat azab Nene Luhu. Ayo
habisi mereka.”
Suara itu seperti cambuk. Kalap.
Suheli histeris di salah satu sudut jalan,
berteriak-teriak tak karuan. Dia merasa hancur dan gagal.
“ Ini hukaman buat kalian yang berniat jahat.”
“ Ini juga untuk kalian yang mengacau.“
“ Ini untuk kalian yang tak patuh terhadap aturan.“
Semua “ini” menjadi alamat dari tinju, sepakan,
hantaman-hantaman telak dari puluhan orang yang mengerubungi ke-4 laki-laki
yang menerima tanpa balas itu. Suheli menangis, terisak lalu kehilangan
kesadaran nya.
---
Matahari menembus celah-celah goa, Matilda menimang
Natanael yang tertidur. Sudah dua hari Petrus dan Ketiga anaknya tidak kembali.
Matilda menarik nafas panjang, meminjam ketabahan ombak yang pecah di karang,
ketabahan yang puluhan tahun diajarkan suaminya.
Di kota, surat-surat kabar laku keras dengan berita dan
cerita seputar matinya 4 penjahat. Pemerintah memberikan statement, perihal azab yang didapat orang-orang yang tidak patuh
menjalankan aturan. Kota kembali kotor, tak terurus, tapi siapa yang peduli,
sebuah keberhasilan sedang dirayakan.
Suheli menarik nafas panjang. Paduan suara dengkuran baru
saja selesai, di depannya tergolek 4 batang sapu lidi milik 4 orang yang mati
dihakimi massa. Dengan tungkai kaki dan lengan-lengan yang lemas Suheli meraih
ke-4 batang sapu tersebut lalu dijadikan satu. Suheli membunyikan sapu itu di
jalanan kota, dia menangis, tak sanggup dia melakukan apa yang dilakukan
keluarga petrus. Dia menangis, hanya menangis.
Ketika pemerintahan diganti dan aturan dicabut, Suheli tahu rahasia lahirnya peraturan
larangan keluar malam yang mengikat penduduk kota selama bertahun-tahun.
Mereka (pemerintah) takut dengan malam, takut dengan
orang-orang yang berdamai dengan malam dan mampu meminjam kebaikan di dalamnya.
Mereka takut ketika mereka malas dan lelap tertidur, orang-orang masih bergaul,
masih menyusun rencana perbaikan yang tak mampu mereka kerjakan, Suheli menulis
dalam catatannya. Kemudian dia hanya bisa menangis lagi.
[1] Nene Luhu, dalam mitologi
lokal di Pulau Seram, Ambon dan Lease dikenal sebagai hikayat hantu lokal dalam
wujud seorang perempuan yang menculik anak-anak di malam hari.