Jumat, 18 November 2011

.... dan kita bukan dua orang tolol

Dia bertanya sampai kapan aku akan mengenakan celana jeans, berkaos, berambut gondrong, brewokan dan yang paling klise, kapan aku berhenti merokok. Dia baru saja pulang, melempar tas jinjing LV 6 jutanya ke sova dan ikut ambruk setelahnya. Seperti biasa aku tak menjawab, alih – alih untuk menggubrispun tidak. Tapi aku juga tak berniat apalagi sampai berfikir untuk mengelak, karena seperti biasa aku hanya akan menatapnya dan tersenyum. Sudah sepuluh tahun lebih pertanyaan itu hadir dan selalu dengan skema yang sama. Jeans, kaos, rambut gondrong, brewok dan rokok. Susunannya tak pernah berubah dan sebelum kalimat yang tidak pernah berubah berikutnya keluar karena kembali hanya menemukan aku yang memandangi wajahnya dan tersenyum, aku cepat – cepat memotongnya.

“ kalo kamu ga ikutin mau aku. Aku bakalan pergi ninggalin kamu “

Mata kami bertemu dan dia tak mampu menahan.

“ dasar keras kepala. ga pernah mau dengerin apa kata aku dan skarang malah bisanya cuma ngejek “

“ aku bener – bener bakal ninggalin kamu “

Aku berusaha menahan senyumku berikutnya, merubahnya dengan aksi “ehem – ehem“ demi menyembunyikan kenyataan menggelitik karena kalimat terakhirnya juga sama banyaknya diucapkan dengan pertanyaan - pertanyaan dan ancaman yang diberikannya perihal semua hal yang tak pernah tulus diterimanya. Tapi kenyataannya dia selalu pulang. Lebih cepat dihari senin, rabu, jumat dan selalu terlambat dihari – hari selain hari – hari itu. Tapi sekali lagi dia selalu pulang. pulang dengan membawa aroma yang paling sensitif untuk aku baui, Membawa raut simpati yang selalu aku senangi dan tentu saja pribadi terdekat yang dengan biasa – biasa saja kujadikan sasaran untuk mencemplungkan diri dengan seribu satu ide dan cerita.

Nyamuk jagoan dan 200 ekor cakcakcak


Sedetik kami diam. Saling diam lebih tepatnya. Sedetik lagi kami hanya saling menatap. Bertatapan kurang lebih. Sedetik kemudian mulut terbuka hendak mengucapkan sesuatu. Sama – sama hendak mengucapkan seuatu lebih tepatnya. Sedetik kemudian kami hanya mampu saling menatap, diam dan tersenyum. Saling diam, saling tatap, saling senyum tanpa kata, tanpa bahasa tanpa apapun selain diam, tatapan dan senyuman. Detik – kedetik. Detik kemenit.

Lama aku diam. Begitu juga dia. Kami hening tanpa suara dilatari awan yang berarak membawa gemuruh sebagai tanda langit akan segera mencucurkan hujan. Bibir terkunci rapat hanya mata yang kuat menghujam. Kami saling menatap, tajam dan seperti tak lagi menangkap objek lain selain bola mata kami masing – masing. Langit sudah mendung. titik – titik airpun jatuh pelan – pelan dikening, menetes pada masing - masing senyum yang mengembang.

Aku tahu ada isyarat, ada padaku juga ada padanya. Deretan nada – nada minor membuka rentetan kata – kata kecil, kalimat – kalimat biasa juga paragraf – paragraf sederhana menuju cerita besar, tidak biasa juga istimewa. Aku percaya dan yakin sungguh, betapa hal – hal sederhana yang tak terencana dengan baik akan jauh lebih menarik dari pada sebuah rencana besar yang masterplan-nya digambar diatas millimeter block dan pastinya terutkan dengan rapi sehingga dengan asumsi sederhana itu artinya isyarat kami memutarkan tiap – tiap rol film dengan gambar – gambar dari peran yang berbeda namun sama – sama memiliki tema besar; ketertarikan.

Sabtu, 02 Juli 2011

Simpang di Bulan Juni

Berapa banyak orang yang akan mati dalam kebohongan yang terus diproduksi zaman edan ini ? dirinya berdesis, laki-laki kurus dikursi kayu itu sudah duduk lebih dari setengah malam. Jalanan masih ramai saat dirinya tiba, kini tersisa tukang-tukang becak yang berjejer merayu ibu-ibu tukang nasi kuning. Mungkin tukang-tukang becak itu memang tidak sedang merayu, mereka hanya sekedar melepas lelah dengan bercengkrama dengan ibu-ibu tukang nasi kuning yang sudah mulai kekurangan pekerjaan karena orang-orang sudah lebih memilih tidur dari pada makan. Lagi pula mereka tidak akan bisa bercinta dipinggir jalan itu desisnya lagi, tawa mereka hanya terlalu keras dan begitulah ternyata mereka telah mampu membayar sebuah kebahagiaan dengan terbahak-bahak memecahkan langit yang sebentar lagi disambut bunyi adzan.

Laki-laki kurus itu bukan kurang kerjaan, tapi malam ini—itulah pekerjaannya; duduk dan menunggu. Ngantuknya sudah pulang sejak tadi, diusir kecemasan yang sebenarnya tidak begitu beralasan. Diliriknya ibu berbadan agak gemuk yang duduk dikursinya, tidak tersenyum—tidak berkata apa-apa, hanya diam. Tak biasa baginya ibu berbadan agak gemuk itu berdiam diri, dia memang tidak termasuk kelompok ibu-ibu penjual nasi kuning yang menanti digombali abang-abang tukang becak untuk tertawa terbahak-bahak juga bukan golongan orang-orang yang merasa terpuaskan hasratnya setelah bersenggama dengan kata-kata menghujat kejelekan orang lain, dia seseorang yang selalu tersenyum dan bertegur sapa dengan siapapun yang datang kecuali malam ini.

Sabtu, 18 Juni 2011

DA DU


Ini adalah tentang laki – laki dan perempuan yang akhirnya memilih berbagi tempat tidur, ini adalah tentang laki – laki dan perempuan yang bersembunyi setiap malamnya dibalik satu lembar kain bernama selimut, ini adalah tentang aku dan dia, aku adalah suaminya dan dia adalah istriku. Kadang aku berfikir bagaimana mungkin aku menikah dengannya, dia pemarah, keras kepala, egois dan begitupun yang sebaliknya yang dikatakannya padaku. Istriku adalah seorang bangsawan, keturunan ninggrat dan berdarah biru. Dia juga tahu suaminya adalah seorang bangsawan, keturunan raja yang hanya tidak berdarah biru karena ditempat asalnya tak mengenal istilah tersebut. Itulah satu – satunya senjata baginya untuk merasa lebih dariku, dia darah biru dan aku bukan. Pernah sekali jarinya teriris ketika mengoceh tentang gambar yang aku buat sambil mengiris kentang. Darah yang mengucur dari jarinya tentulah berwarna merah bukan biru tapi dia tetap saja tak mau kalah. Aku juga mengoceh menyela segala rasionalisasinya, dia lupa tangannya teriris dan sibuk berdebat. Begitulah perempuan yang serlalu tertidur lebih dulu disampingku itu, begitulah istriku, begitulah yang aku tahu. Begitulah kami.


Nasib memang telah mempertemukan kami. Bagaimana tidak untuk membahas nasib, kami datang dari dua tempat yang berbeda, mengejar tujuan yang sama dan ternyata mendapatkan tempat yang berurut – urutan pada daftar nama karena nama kami dimulai dengan huruf yang sama yaitu D, aku Domi Aksara dan dia Donna Umaira. Nama kami adalah bagian yang penting dalam menentukan nasib kami, setelah berurut – urutan pada daftar masuk, ternyata kami juga berurut – urutan dikelas karena mendapatkan kelas yang sama. Kami sama – sama suka menggambar dari kecil, sama – sama termotivasi untuk menjadikan gambar sebagai cita – cita dan akhirnya menjebloskan diri di kuliah seni rupa dan desain. Dia sering mengejek namaku dengan menambahkan domi dengan no sehingga menjadi domino yang adalah salah satu jenis permainan kartu yang populer, katanya bapakku adalah keturunan raja penjudi yang menghabiskan waktu untuk bermain domino sehingga menamakanku dengan nama domi. Baginya domino adalah permainan kartu paling murahan dan tidak bergengsi tapi ketahuilah akhirnya semuanya menjadi begitu manis ketika akhirnya kami sering menghabiskan waktu untuk bermain domino bersama. Pada tahun terakhir kami kulaih, dihari ulang tahunku dia mengahadiahkan satu set kartu domino yang dibuatnya sendiri dengan menggantikan bulatan – bulatan berwarna merah seperti kebanyakan kartu domino dengan huruf – huruf yang berarti aksara. Dia akhirnya mengakui namaku memiliki arti yang istimewa, saat itu dia memang telah berhenti menjadikan namaku sebagai bahan ejekannya dan sedikit melembut karena kami bukan lagi hanya sebatas teman. 

Jumat, 10 Juni 2011

N.Y.A.M.U.K

Aku bilang dia seperti nyamuk, terus berbunyi dan mengganggu. Aku bilang dia seperti pengusik, selalu kurang kerjaan dengan selalu hadir dimanapun aku berada. Aku bilang aku tak nyaman, aku bilang aku tak menginginkannya. Aku selalu menolak tapi sekuat apa aku mengelak, sekuat itu pula dia berjuang untuk tidak aku matikan. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menanggapi keberadaannya, tapi ternyata kegilaannya membuat aku tergila - gila. Semakin kuat aku berfikir untuk tidak peduli, semakin kuat pula akhirnya aku bertanya – tanya tentang sebab, aku bertanya – tanya tentang alasan. Aku telah berfikir tentangnya, aku berkesimpulan; ada yang hilang saat dia hilang.

 “ sudah kubilang aku tidak mengisap darahmu, aku bukan nyamuk, aku widi.”

“ tapi kamu mengganggu, kamu menguntitku kemanapun aku pergi. Aku tak suka itu “

“ percayalah, aku tak pernah menguntitmu. Takdirlah yang selalu mempertemukan kita dan aku selalu senang untuk menerimanya “

“ tapi kamu mengganggu dan…. “

Dia yang ku sebut nyamuk memang selalu akan memilih berlalu sebelum aku menyelesaikan mantra – mantraku. Aku tahu dia selalu enggan untuk berdebat dan menghormati hakku untuk berkomentar sehingga pergi dengan meninggalkan sedikit senyum adalah pilihan terbaik untuknya. Tapi bagiku itulah petaka, keenggananya untuk berdebat selalu membuatku bertanya – tanya akan sebab dan senyum manis yang tersungging diujung bibir sebelum berlalu adalah alasan kuat mengapa aku terus merasa terintimidasi. Senyum manisnya selalu berbekas bahkan ketika suara dan jasadnya sudah tak lagi mampu ditangkap indra walaupun sungguh sebenarnya aku tahu, dia masih akan selalu ada disana; mengintaiku, membauiku, menguping semua hal dan semua itu sungguh adalah hal yang membuatku menyebutnya sebagai pengganggu.

Minggu, 15 Mei 2011

Sepotong bibir diatas kue cina

Untuk suatu peristiwa yang terjadi didalam kehidupannya aku percaya setiap manusia melewti beberapa kali momentum peristiwa – peristwa atau tanpa mengurangi nilai dan maksud aku menyebutnya sebagai sub – sub peristiwa, rangkaian peristiwa – peristiwa kecil hingga bemuara pada kesadaran yang didasari keyakinan. Aku merasa telah belajar semua itu dari cinta.

Sebagai seseorang yang sejak lama dianggap kolot dan kuper setidaknya sejak masa SMA, aku selalu merasa tertinggal dari banyak vf anak seumuran, anak - anak laki- laki dikelas yang mampu berani mendekati dan menggombali peremuan – perempuan yang mereka suka, memamerkan koleksi foto perempuan – perempuan yang cantik rupawan dan paling penting menceritakan seribu satu cerita atas apa yang telah mereka perbuat bersama pasangan mereka. Aku selalu hanya pantas untuk mendengarkan yang kadang – kadang ditambahkan hinaan betapa tidak mampunya aku melakukan apa yang bisa dengan gampang mereka lakukan. Kata mereka aku hanya pantas baca buku dan tak akan pernah pantas melakukan apa yang mereka lakukan, entah apa dasar mereka mengatakan itu, aku sendiri tidak pernah memikirkannya sehingga hanya menerima dan menganggap olok – olokan tersebut sebagai sesuatu yang masuk akal dan seperti yang sudah mampu ditebak sebelumnya semuanya berlanjut hingga masa kuliah, aku terasing sendiri digaris belakang dan cinta bagiku tersembunyi dibalik tumpukan buku – bukuku.

“ akan pulang lebih awal lagi pak ? “

Aku menengok dan mengangguk sekenanya, mengiyakan asistenku yang masih sibuk membereskan tumpukan makalah yang baru saja aku kumpulkan tadi. Bukan sesuatu yang menyenangkan menurutku dipanggil “ pak ” dengan umur yang masih terlalu muda tapi hal tersebutlah yang musti aku terima karena alasan kedudukan dan statusku sebagai seorang dosen namun sebagai seorang laki – laki berumur 27 tahun dan belum menikah hal tersebut tentulah adalah masalah. Kadang aku ingin meminta disapa dengan panggilan mas saja, abang atau kakak oleh asisten – asistenku, mahasiswa – mahasiswaku dan oleh siapapun yang umurnya tidak terlalu jauh berbeda dibawahku tapi hal tersebut selalu aku urungkan karena entah mengapa aku merasa permintaan tersebut akan terkesan sebagai sebuah bentuk pesimisme dan penolakan terhadap apa yang telah dengan tekun aku bangun. Kadang aku merasa telah terlampau egois bahkan untuk diriku sendiri.

Minggu, 08 Mei 2011

Gunung Mimpi


Masih terang benar ingatan akan pertanyaan beberapa teman selepas pelaksanaan prosesi wisuda tempo hari, sebuah pertanyaan yang bagiku benar – benar menggelitik karena seharusnya tidak perlu dilontarakan apalagi mesti aku jawab. Pertanyaan itu yang bagiku lebih semacam pernyataan, penolakan terhadap pilihanku dan penyesalanan mereka atas diriku yang dianggap keterlaluan karena tidak pandai bersyukur; Mengapa mesti memilih Pulang Kampung ?

---

Hari masih pagi benar, ayam – ayam jantan juga belum turun benar dari atas pohon tapi gerombolan anak – anak kecil berseragam merah putih itu sudah melintas ramai. Aku selalu menyaksikan mereka setiap hari—setiap pagi melintas dengan rupa – rupa gaya dan obrolan. Penampilan mereka sederhana atau bahkan terlalu berlebihan untuk disebut layak. Rata – rata mereka kemungkinan besar hanya punya satu pasang baju seragam yang dipakai seminggu penuh, putih bersih dihari senin dan kembali berubah kekuning – kuningan dipertengahan minggu namun bagiku yang tidaak pernah berubah adalah sorot mata mereka, selalu berbinar dan seperti selalu berani menantang apapun. Mereka adalah gerombolan anak – anak kampung, anak – anak gunung yang untuk bisa tiba ke sekolah dengan tepat waktu harus mengantri angkutan selepas subuh karna jarak antara kampung dan sekolah yang jauh.

Aku kenal Buba, anak laki – laki berkulit hitam dan bertubuh lebih besar dari teman – teman segerombolannya. Ayah Buba adalah seorang supir mobil pickup yang hampir setiap hari mengangkut Buba dan teman – temannya kesekolah, jumlah gerombolan anak SD yang harus melewati 3 tiga Kampung besar dan 5 kampung kecil ditambah dusun – dusun petuanan itu memang tidaklah banyak tapi mereka selalu harus beradu cepat dengan orang – orang dewasa yang juga membutuhkan tumpangan untuk tidak terlambat sampai dipasar untuk berjualan. Kampung tempat aku dan buba tinggal bukanlah kampung besar, berada dibagian ujung pulau dan hanya berpenduduk sekitar 200 kepala keluarga yang rata – rata berprofesi sebagai petani kebun sehingga jumlah kendaraan umum yang tersediapun terbatas. Buba sehari – hari bertindak sebagai kondektur ayahnya, mengumpulkan teman – temannya sambil berteriak – teriak “ woe mare skolah woe ” lalu bila ada diantara mereka yang terlambat bisa dipastikan akan memilih pulang dan membantu orang tua mereka dikebun atau bermain dibukit batu.

“ bapa bilang kalo beta skolah, nanti beta bisa jadi presiden “ buba menceritakan alasan mengapa dia bersekolah sambil merajut bambu untuk dibuat menjadi layang – layang “ beta juga punya dua orang kakak laki – laki. Dua – duanya pergi sekolah dikota tapi dong seng jadi presiden, yang pertama jadi buruh dipelabuhan dan yang kedua kerja di Matahari. Yang kedua bajunya bagus, walaupun seng jadi presiden, abang pakai baju hitam – hitam seperti pengawal presiden, kata bapak abang jadi penjaga counter pakaian dalam laki – laki, dia sering sekali mengirimkan beta dan bapak pakaian dalam baru “ buba meracau panjang, terus merajut bambu lalu sesekali menimbangnya dengan benang.

Setiap sore buba dan teman – temannya berkumpul di bukit batu untuk merayakan hari mereka dengan berbagai macam permainan mulai dari permainan hari – hari seperti benteng, perang nama, hasen hingga permaianan – permaianan musiman seperti layang – layang dan mutel[1]. Buba sudah duduk dibanguku kelas enam dan beberapa bulan lagi bersama teman – teman seumurannya akan memasuki ujian nasional yang berarti moment kelulusan mereka akan segera tiba tapi ternyata moment kelulusan tersebut bukanlah sebuah moment yang ditunggu – tunggu oleh buba dan teman – temannya karena tidak semua dari mereka akan bisa melanjutkan studi ke tingkat selanjutnya kecuali mereka yang memiliki biaya dan cukup keinginan untuk pindah ke seberang pulau tempat satu – satunya SMP terdekat berada.

Kamis, 05 Mei 2011

Kata Ibu " Perempuan Itu Kapal "

Kata ibu perempuan itu kapal. Laki – laki datang kedermaga, memilih kapal dan mengemudikannya ke laut bebas. Kata ibu, kapal itu harus kuat karena laut bebas yang akan diarungi itu sudah pasti luas dan laut luas itu sudah pasti buas dengan segala resiko sederhana yang ada didalamnya. Setiap kapal haruslah kuat untuk mampu menerima resiko yang akan dihadapinya. Hanya gelombang sajakah, badai besar atau malah mungkin tandas, karam dan tenggelam. Kata ibu perempuan itu kapal, dibawa pergi dengan hanya cukup diam dan menurut namun sebaik – baiknya kapal haruslah pandai – pandai bersyukur dan merasa yakin atas apa yang dimilikinya ketika harus melepas tali dari tautannya didermaga. Sekali lagi ibu bilang perempuan itu kapal dan aku adalah kapal yang ibu selalu bilang. Aku adalah perempuan dan aku adalah kapal. Begitu katanya.

Bagiku setiap kata yang meluncur dari bibir ibu adalah sabda. Suara alam yang menguatkanku betapa hidup sulit yang dengan kulit aku sentuh, dengan mata kurekam dan dengan hati aku cerna mampu menjadi pendar – pendar lampu yang menyala merah untuk melindungi dari gelap karena dinyalakan setelah magrib dan menjadi cahaya pertama yang dimiliki sebelum menjalani hari dibawah sinaran matahari karena dimatikan sebelum subuh. Bagiku ibu adalah nabi. Ibu adalah perasa, pemikir dan penentu tapi bagi ibu dengan filosofi ‘perempuan adalah kapal’ yang adalah ayat pertama dalam semua laku dan sikapnya ayahku adalah tuhan. Laki – laki yang datang kedermaga, memilihnya dan mengemudikannya ke laut luas.

Sering kali aku merasa kolot dengan semua asumsi ibu tentang perempuan yang adalah kapal. Bagiku zaman telah bertransformasi dengan segala macam paradigma baru dan perempuan tak lagi hanya bisa diam saja dan bisa menurut saja. Perempuan hari ini tak lagi harus dipaksakan untuk bersyukur atas apa yang sebenarnya membuatnya tertekan dan memendam sakit. Perempuan hari ini telah mampu berdiri sejajar dan duduk sama rata dengan laki – laki tapi aku selalu tak mampu memenangkan asumsi yang dikoar - koarkan media tentang kesetaraan gender tersebut. Begitu banyak yang kusentuh, begitu banyak yang kurekam dan begitu banyak juga yang kucerna dan kesemuanya itu adalah tentang ibu yang adalah kapal, tentang perempuan yang adalah kapal dan itu adalah alasan.

Kadang gamang aku melihat semua yang dimainkan ibu diatas pentasnya. Laut yang adalah misteri dijejalinya dengan pelan tapi pasti. Tak ada Tanya kecuali anggukan yang hadir bersamaan dengan kata ‘ya’ untuk semua permintaan. Dengan memilih menjadi kapal, ibu menjadi perempuan yang patuh dan menerima semua kejadian yang tergarisi dalam hidupnya. Tak ada belenggu patriarki dalam hidup perempuan yang ikhlas memilih menjadi kapal baginya.

Aku adalah anak kecil perempuan yang setiap paginya berdiri diam didepan pintu dapur menunggu ibu mengisi penuh bak mandi dan tempayan air minum dengan sebelumnya mengantri di tempat pengambilan air yang jaraknya seingatku lima rumah dari rumah kami lalu tergopoh –gopoh menjinjing bakul airnya sambil sekali – sekali berhenti ditengah perjalan untuk menyeka keringat dan membenarkan lengan bajunya yang sengaja digulung hingga tak adalagi tempat yang tak terisi dengan air lalu bergegas menyambar semua barang bawaanku dan melepasku didepan jalan untuk menumpang angkutan menuju mesjid raya tempat aku bersekolah.

Minggu, 01 Mei 2011

Kamu sempurna ketika (klakkk*) "lampu mati"

Menyapu pipinya lembut, menyibak pelan anak rambutnya yang terurai, memeluk erat tubuh nya dan mengecup manis kedua keningnya adalah semua hal yang selalu ingin aku lakukan berulang kali dalam setiap ketidakberdayaan ruang dan waktu untuk memisahkan. Ruang yang tertempuh sekian lama dan waktu yang tak pernah cukup untuk sekian cerita seperti selalu kembali ketitik nol ketika jarak kembali tiada.

Aku berdiri didepan pintu, menahan berat letihnya sebuah perjalanan dinas. Mengendap – ngendap karena tidak ingin ketahuan siapapun bahwa aku telah mencuri waktu untuk menuai rindu dari pohon yang dipelihara alam dengan hukumnya. Aku tahu aku tak bisa berpisah dengannya telalu lama, aku tahu aku tak bisa terlalu rindu padanya, aku tahu berpisah dengannya adalah berarti mimilih hidup dengan sesak nafas, aku tahu merindu padanya adalah seperti tersesat ditengah padang gurun dan mencari oase.

Aku mengetok pelan daun pintu. Menanti – nanti sebuah pesta penyambutan sederhana. Peluk hangat dan kecup sayang dua manusia yang secara temporer dipersatukan perasaan masing – masing. Perpisahan berbulan – bulan yang telah melahirkan satu tahun rindu membuatku tak sabar untuk memperlihatkan padanya surat dinas atas nama cinta dan kerinduan yang kubuatkan khusus untuknya. Aku tak sabar memberikan upeti berisi waktu yang kucuri setiap harinya atas nama kasih sayang kepadanya. Aku tak sabar menunggu pintu itu dibuka dan pesta resmi dimulai.

“ Jadi sekarang biu – biu kecilmu itu sudah masuk taman kanak – kanak ? pasti sekarang dia sedang lucu – lucunya. Aku ingin sekali melihatnya mengenakan seragam lengkap dengan perkakas tempat makan dan botol air minumnya, pasti lucu sekali itu.”

Aku memperhatikannya yang tersenyum – senyum sendiri sembari melihat ke jendela seakan – akan semua memori yang dibutuhkannya untuk menunaikan rasa keingin tahuannya hadir disana. Aku mendekap dalam tubuhnya yang direbahkan pasrah didalam pelukku. Dia menyediakan satu minggu terakhir untuk mempersiapkan hari ini, mempersiapkan malam ini. Baginya setiap kerinduan sudah tak lagi mampu dianggapnya rasional sehingga kata – kata tak lagi cukup untuk mewakili. Dia membuat semuanya dengan cinta dan kerinduan tak bernama katanya dimeja makan tadi. Dia membeli gaun, menyiapkan makan malam paling istimewa lengkap dengan lilin aroma terapi yang membungkus kelelahanku, dia membereskan semua yang dianggapnya akan merusak suasana termasuk membereskan kembali perasaannya yang berantakan karena jarang ada kabar dariku. Dia melakukan semuanya sendirian, seorang diri dan aku hanya bisa lemah memeluknya dalam.

Selasa, 26 April 2011

Candu

Aku menungguimu hingga larut malam. Menepis bayangan nyata yang keluar dari kaki – kaki tirai jendela sambil tak henti – hentinya mengumandangkan namamu agar aku tetap sadar kau tiada disisiku. Aku menungguimu hingga pagi buta. Melepas setiap lembar harapan bersama detak jam didinding sambil tak lelah – lelahnya mempertahankan keyakinan agar tetap berada ditempat yang semestinya.

Aku memaafkan, pun bila aku yakin aku akan berusaha melupakan. Aku mengalah demi hal baik yang pelan – pelan mampu aku terima. Apa yang salah denganku ? apa yang salah dengan sikapku ? ketahuilah bahwa belajar menerima itu tetaplah tidak mudah. Siapapun dia dan atas alasan apapu dia melakukannya.

Menahun sudah rasanya keyakinan terpupuk. Setetes demi setetes menurun dan tercurah. Aku pikir aku ikhlas, dalam dingin tubuhku tergetar. Titik – titik yang dingin itu membelah pipi – pipiku sepanjang perjalanan. Aku berharap semuanya bermuara dilaut, tapi ternyata aku cukup sadar untuk puas dan menerima kenyataan bahwa semuanya hanya menjadi limbah dalam cawan suci kita. Mengendap dan tak kemana – mana.

Sepertinya tak ada yang mampu menyangkal arti kata jatuh yang sebenarnya. Jatuh adalah sakit. Tak ada yang ingin sakit dalam hidup, begitu juga aku. Tapi aku tahu aku telah terjatuh jauh, sangat jauh. Aku sakit. Jatuh tetaplah jatuh yang adalah luka, perih, nanah dan itupun berlaku untuk cinta. Aku tahu, aku jatuh padamu dalam cinta sedari dulu. Sedari dulu itu juga aku merasa yakin bahwa tak ada jawaban lain selain ‘ya’. aku memang terjatuh tapi ‘ya’ dirimu yang akan selalu ada untuk meredam perih dan menukar sakit dengan rasa yang lebih manis.

Rabu, 20 April 2011

yang jatuh dan terhempas dari mata (hati) malaikat

Apa benar akan selalu datang pengampunan setelah kita mampu memaafkan ? jawabannya tanyakan pada angin yang menabur pasir dibibir pantai. Apa benar akan selalu datang maaf setelah semua salah mampu diampuni? jawabannya tanyakan paada buih air laut yang diterbangkan angin.

---

Anak laki – laki itu sudah menungguku diujung jalan sana. Menyeduh dua cangkir kopi seperti biasa untuk menemani kami bercerita. Anak laki – laki itu gagah, tinggi—tegap, berkulit coklat dan semua itu membuatnya terlihat pemberani. Aku menyukai anak laki – laki itu, aku menyukainya yang jatuh hati pada gunung, pada lembah, pada hutan, pada pantai, pada laut, pada ombak dan pada semuanya yang mendatangkan padanya kesunyian. Anak laki – laki itu selalu mampu menggambarkan padaku sepi yang membahagiakan, dirinya seperti berbicara dari hati ke hati tanpa harus sedikitpun pilihan berhati – hati. Aku merasa membutuhkannya untuk bernafas lega, berlindung dari dunia yang sering bersikap sebagai pengasingan karena nafas kami berpaut dan mampu saling menghangatkan.

Satu belokan lagi aku akan menemukannya, duduk seperti biasa dibagian pojok coffee shop sederhana yang menghadap ke empat mata jalan. Bagiku sendiri coffee shop itu kadang tak ubahnya seperti tempat persembunyian, perapian terbaik untuk menghangatkan diri dari badai kehidupan yang sering datang tak mengenal musim. Disetengah meja yang menempel didinding dan hanya bisa diisi dua orang tersebut mesra dirinya menunggu, terbayang jelas raut wajah yang tak henti menghujani hati dengan kerinduan, menimbun rasa ingin berpelukan dan berkasih – kasihan. Aku tak sabar ingin segera bertemu anak laki – laki itu.

Senin, 11 April 2011

Ternyata (itu) Cinta

deviantart.com
Katamu akan selalu ada hari cerah setelah mendung yang berkepanjangan. Katamu akan selalu datang kebahagian setelah berkali - kali kesakitan. Aku melihatmu lebih sering tersenyum akhir – akhir ini, begitupun aku. Ada semacam energi positif baru yang kamu temukan, begitu juga aku.

Benar sungguh bahwa ternyata hidup adalah tentang menjalani rahasia. Hidup adalah tentang menempuh kisaran waktu tertentu dengan segala ketentuan dan sekian kemungkinan yang bisa akan ada di dalamnya. Setiap manusia tidak akan pernah tahu kapan kebahagian atau  kesakitan akan datang menghampiri hidupnya, karena seperti hari yang bisa cerah dan mendung, keduanya selalu memiliki kemungkinan yang sama besarnya. Manusia berkuasa membuat perkiraan namun ketentuan semestalah yang menjadi kehendak. .

Dulu aku sering bertanya padamu tentang takdir pertemuan. Bukan tentang dua orang yang berpisah lalu dipertemukan kembali tapi sebaliknya tentang dua orang yang belum pernah bertemu sebelumnya. Katamu sejatinya takdir pertemuan adalah tentang kehendak dipertemukannya dua titik yang membentuk relasi, kuasa atas kelahiran ruang yang sebelumnya tiada menjadi ada.

Sebuah takdir pertemuan layaknya sebuah pintu, sebuah akses masuk menuju satu masa yang telah direncanakan jauh sebelum catatan waktu terjadinya peristiwa tersebut. Pertemuan tidak terjadi begitu saja sebagai sebuah peristiwa reaksional. Aku percaya padamu bahwa pertemuan adalah tentang ada yang bermula dari tiada. namun akupun percaya bahwa ada yang berasal dari tiada tersebut sebenarnya telah ada sebelumnya, dalam bentuk yang tidak tersentuh sehingga disebut tiada. Takdir  pertemuan adalah tentang sebuah peristiwa metafisika.
Aku memperhatikan dudukmu yang terlihat lebih santai, nafasmupun terdengar jauh lebih luas dari sebelum – sebemlumnya. Sungguh sebuah keanehan setelah tidak pernah melihatnya dalam kurun waktu yang sangat lama. Kamu tersenyum padaku, akupun membalas senyummu.

KAMU ADALAH SALAH

Dieng
Kita membungkuk saat angin bertiup terlalu kencang untuk dibendung. Kau membekap tubuhku yang terlalu kekecilan untuk pelukmu dan itu sungguh semakin membuatku berantakan lebih dari angin kencang dan cuaca buruk ini. Disisi kiri dan kanan kutahu kita tidak sendirian tapi aku seperti hanya merasakanmu. Aku merasa kita hanya berdua, sembunyi – sembunyi memaduh kasih disepanjang jalan kecil tanpa pembatas ini.

Mengapa kita harus sembunyi – sembunyi katamu. Apakah cinta bisa menjadi salah hanya karena persoalan waktu dan keadaan ? aku tersenyum, aku menggeleng. Sudah kuputuskan untuk memelukmu lebih erat dari sebelumnya, meredam pertanyaan dan kecemasanmu. Aku tak ingin masuk kejurang dan mati sebelum bercinta dengan wajar denganmu diranjang.

“ pram’ aku merasa sudah jatuh “

Aku berbisik pelan ditelingamu sambil memelukmu dari belakang. melingkarkan lenganku dilehermu dan menjatuhkan tubuhku diatas punggungmu. Sudah lebih dari satu jam kamu membungkuk disana, memandangi danau tiga warna yang kini hanya tersisa hijaunya. Aku bosan bila ditinggalkanmu sendiri walau meski sebenarnya aku tak benar – benar sendiri disini tapi alasanku berada disini semata – mata hanyalah kamu.

“ jatuh apa ? “

Seketika daun – daun berhenti bergoyang, riak air didanau danau yang bergunjang ditup angin tak perlu sampai ditepi untuk menjadi sempurna ketika kamu berpaling untuk menemukan wajahku, jarak kita dekat tak cukup sejengkal. Aku jatuh, aku merasa cukup.

Aku Gila. Aku Menunggu !

Aku cukup sadar bahwa cinta harusnya adalah sebuah tabrakan bukan tumbukan. Cinta harusnya adalah dua bagian yang bergerak dari arah yang berlawanan, menuju ke titik yang sama dan pada momentumnya akhirnya melepas diri untuk saling bertabrakan, hancur tapi ternyata kemudian mampu melebur menjadi satu. Cinta idealnya adalah tabrakan dua bagian perasaan bukan tumbukan sebuah perasaan pada tiang, pintu, tembok, atau apalah selain perasaan karena perasaan yang lain bergerak kearah yang sama atau tragisnya malah hilang ke lintasan yang lain. Cinta adalah sebuah tabrakan, bukan tumbukan dan aku sadar.

Bayangnya baru saja berakhir di ujung gang sedang aku masih belum siap untuk merekam gambarnya karena masih sibuk membereskan gambar mimpi sisa semalam yang belum sempat aku bereskan. Aku sadar, aku gila. Aku sadar setiap malam aku memimpikannya, aku sadar pula setiap pagi aku menunggunya dititik pertemuan hanya untuk merasa cukup dengan memandanginya dari jauh dan aku sadar semua itu bukan baru terjadi kemarin tapi sekian tahun. Aku sadar, aku gila atau lebih terhormat dengan mengatakannya sebagai tergila – gila.

“ apakah tidak sebaiknya kamu bosan saja ? “

Suara itu datang lagi, suara dari entah pena, entah kertas, entah sepatu, entah bangku atau entah apalah itu. Tanganku berhenti bergerak, aku harus menegakan dudukku agar Nampak sebagai lawan yang sebanding untuk menghalau semua serangan.

“ aku sudah lelah memintamu untuk pergi, melupakan dan masih banyak lag pilihan laini. Sekarang aku hanya memintamu bosan. Itu pilihan terakhir yang aku punya untukmu “

CINTA (TAK) BUTUH AKSARA

nico wijaya | photoworks
Kadang aku berfikir untuk apa kulakukan semua ini. Aku tak mampu mengungkapkan apa – apa seperti yang dilakukan kebanyakaan orang atas nama perasaannya, akupun tak kunjung berkeinginan untuk menunjukan apa – apa layaknya seseorang yang mengharapkan hasil dari sesuatu yang dicita - citakan. Aku tahu benar bagaimana perasaanku tumbuh berkembang dari waktu ke waktu, aku sadarpula betapa cita - citaku begitu besar tapi aku tak berani menjawab perasaanku dengan pilihan, aku juga tak berani membayar cita – citaku itu dengan sebuah usaha: Aku takut.

Pernah aku berfikir tentang bagaimana ternyata waktu sudah begitu cepat sekali berlalu, berganti dari detik kemenit lalu menit ke jam lalu jam ke hari lalu hari kebulan lalu bulan ke tahun dan aku masih tetap tak beranjak, tetap dan bahkan tak sedikitpun terlintas kata cukup atau memilih pergi. Aku tetap, tetap takut dan tetap merasa tidak selesai dengan diriku sendiri dan kenyataan. Aku mencintainya dengan perasaan yang besar, memilikinya adalah cita – cita terbesarku tapi aku tetap tak sedikitpun bergerak: Aku takut.

Sering aku menyesali diri karena memelihara perasaan yang semakin hari semakin besar dan cita – cita yang seiring waktu berubah menjadi kekuatan yang kadang sulit untuk kubendung. Aku telah memelihara rasa cinta yang ragaku sendiri menyangkalinya, aku telah memelihara keinginan memiliki tanpa menimbang rasio betapa kekuranganku adalah sebesar – besarnya alasan untuk membuatku berhenti. Aku pernah hampir saja pergi tapi dia datang tepat dihadapanku dan sedikitpun aku tak dapat mengelak. Aku kembali bersembunyi dibalik dinding: cinta tak butuh aksara.

Gong’ pernahkah kau mencintai sesuatu yang lain lebih dari kau mencintai pekerjaanmu ? celetuk si babah tukang rokok tiba – tiba kepadaku. Tapi belum sempat aku bereaksi apa – apa, babah sudah mengeleng – gelengkan kepala dan tertawa, dia tahu dia tidak akan mendapatkan jawaban apa – apa dariku karena aku memang tidak akan berkata apa – apa kecuali tersenyum meski sejujurnya ingin sekali rasanya kujawab pertanyaannya itu dan keyakinanku jujur menanggapi sungguh bahwa ternyata tak semua hal akan dirasakan cukup hanya dengan senyuman.

DUNIA TAK PERNAH LAGI AMAN TANPA JAMILAH

Kenangan adalah segalanya tentang ingatan, segala hal yang seketika hadir pada detik kemudian setelah pengulangan terjadi di hidup manusia. kenangan adalah segalanya tentang hidup dan bagian – bagian yang hidup didalamnya. Kenangan bagiku adalah tentang dua ruas jalan yang saling menyilang dan empat mata jalan dengan nama yang berbeda - beda. Kenangan bagiku adalah tentang menyusuri barisan toko tua untuk berakhir di ujung jalan, di sebuah bangku taman dengan cat hijau pudar yang berhadapan dengan air mancur dari lampu. Kenangan adalah segala tentang ingatan yang membuat dunia tak pernah menjadi aman lagi.

“ kamu liat toko keramik diujung sana ? “ tangannya menunjuk jauh kearah utara melintasi kendaraan yang berlalu lalang kearah gedung yang berada dibagian paling ujung

“ yaa, aku melihatnya “ aku mengangguk “ Ada apa dengan toko itu ? sepertinya bangunan itu berumur tua “

“ konon, toko keramik tersebut adalah salah satu bangunan paling megah dikota ini sebelum masuknya pembangunan. Bangunan itu sudah ada sejak 1913, tertua dikawasan ini “ dia menjelaskan dengan mimik serius dan aku hanya mengangguk “ pemiliknya adalah keluarga dermawan, warga keturunan yang sudah beranak pinak disini, perempatan ini tanpa bangunan tersebut adalah bukan apa – apa, maka begitulah semua orang akhirnya menyebut perempatan ini dengan nama perempatan dermawan”

Aku masih terus memperhatikan bangunan tua diseberang jalan yang masih terus menyita perhatian Jamilah. Bangunan itu nampak kusam dengan warna putih di tembok yang dibuat waktu menjadi kekuning – kuningan, aku percaya bangunan itu pernah terlihat megah seperti yang dikatakan Jamilah. Bangunan tiga lantai dengan banyak jendela itu memang seperti sengaja dibuat seperti tak terpisahkan dari tempat ini, menyilang secara diagonal, lurus seperti diatur untuk berhadapan langsung dengan taman, dengan air mancur dan dengan tempat kami duduk.