Minggu, 15 Mei 2011

Sepotong bibir diatas kue cina

Untuk suatu peristiwa yang terjadi didalam kehidupannya aku percaya setiap manusia melewti beberapa kali momentum peristiwa – peristwa atau tanpa mengurangi nilai dan maksud aku menyebutnya sebagai sub – sub peristiwa, rangkaian peristiwa – peristiwa kecil hingga bemuara pada kesadaran yang didasari keyakinan. Aku merasa telah belajar semua itu dari cinta.

Sebagai seseorang yang sejak lama dianggap kolot dan kuper setidaknya sejak masa SMA, aku selalu merasa tertinggal dari banyak vf anak seumuran, anak - anak laki- laki dikelas yang mampu berani mendekati dan menggombali peremuan – perempuan yang mereka suka, memamerkan koleksi foto perempuan – perempuan yang cantik rupawan dan paling penting menceritakan seribu satu cerita atas apa yang telah mereka perbuat bersama pasangan mereka. Aku selalu hanya pantas untuk mendengarkan yang kadang – kadang ditambahkan hinaan betapa tidak mampunya aku melakukan apa yang bisa dengan gampang mereka lakukan. Kata mereka aku hanya pantas baca buku dan tak akan pernah pantas melakukan apa yang mereka lakukan, entah apa dasar mereka mengatakan itu, aku sendiri tidak pernah memikirkannya sehingga hanya menerima dan menganggap olok – olokan tersebut sebagai sesuatu yang masuk akal dan seperti yang sudah mampu ditebak sebelumnya semuanya berlanjut hingga masa kuliah, aku terasing sendiri digaris belakang dan cinta bagiku tersembunyi dibalik tumpukan buku – bukuku.

“ akan pulang lebih awal lagi pak ? “

Aku menengok dan mengangguk sekenanya, mengiyakan asistenku yang masih sibuk membereskan tumpukan makalah yang baru saja aku kumpulkan tadi. Bukan sesuatu yang menyenangkan menurutku dipanggil “ pak ” dengan umur yang masih terlalu muda tapi hal tersebutlah yang musti aku terima karena alasan kedudukan dan statusku sebagai seorang dosen namun sebagai seorang laki – laki berumur 27 tahun dan belum menikah hal tersebut tentulah adalah masalah. Kadang aku ingin meminta disapa dengan panggilan mas saja, abang atau kakak oleh asisten – asistenku, mahasiswa – mahasiswaku dan oleh siapapun yang umurnya tidak terlalu jauh berbeda dibawahku tapi hal tersebut selalu aku urungkan karena entah mengapa aku merasa permintaan tersebut akan terkesan sebagai sebuah bentuk pesimisme dan penolakan terhadap apa yang telah dengan tekun aku bangun. Kadang aku merasa telah terlampau egois bahkan untuk diriku sendiri.

Minggu, 08 Mei 2011

Gunung Mimpi


Masih terang benar ingatan akan pertanyaan beberapa teman selepas pelaksanaan prosesi wisuda tempo hari, sebuah pertanyaan yang bagiku benar – benar menggelitik karena seharusnya tidak perlu dilontarakan apalagi mesti aku jawab. Pertanyaan itu yang bagiku lebih semacam pernyataan, penolakan terhadap pilihanku dan penyesalanan mereka atas diriku yang dianggap keterlaluan karena tidak pandai bersyukur; Mengapa mesti memilih Pulang Kampung ?

---

Hari masih pagi benar, ayam – ayam jantan juga belum turun benar dari atas pohon tapi gerombolan anak – anak kecil berseragam merah putih itu sudah melintas ramai. Aku selalu menyaksikan mereka setiap hari—setiap pagi melintas dengan rupa – rupa gaya dan obrolan. Penampilan mereka sederhana atau bahkan terlalu berlebihan untuk disebut layak. Rata – rata mereka kemungkinan besar hanya punya satu pasang baju seragam yang dipakai seminggu penuh, putih bersih dihari senin dan kembali berubah kekuning – kuningan dipertengahan minggu namun bagiku yang tidaak pernah berubah adalah sorot mata mereka, selalu berbinar dan seperti selalu berani menantang apapun. Mereka adalah gerombolan anak – anak kampung, anak – anak gunung yang untuk bisa tiba ke sekolah dengan tepat waktu harus mengantri angkutan selepas subuh karna jarak antara kampung dan sekolah yang jauh.

Aku kenal Buba, anak laki – laki berkulit hitam dan bertubuh lebih besar dari teman – teman segerombolannya. Ayah Buba adalah seorang supir mobil pickup yang hampir setiap hari mengangkut Buba dan teman – temannya kesekolah, jumlah gerombolan anak SD yang harus melewati 3 tiga Kampung besar dan 5 kampung kecil ditambah dusun – dusun petuanan itu memang tidaklah banyak tapi mereka selalu harus beradu cepat dengan orang – orang dewasa yang juga membutuhkan tumpangan untuk tidak terlambat sampai dipasar untuk berjualan. Kampung tempat aku dan buba tinggal bukanlah kampung besar, berada dibagian ujung pulau dan hanya berpenduduk sekitar 200 kepala keluarga yang rata – rata berprofesi sebagai petani kebun sehingga jumlah kendaraan umum yang tersediapun terbatas. Buba sehari – hari bertindak sebagai kondektur ayahnya, mengumpulkan teman – temannya sambil berteriak – teriak “ woe mare skolah woe ” lalu bila ada diantara mereka yang terlambat bisa dipastikan akan memilih pulang dan membantu orang tua mereka dikebun atau bermain dibukit batu.

“ bapa bilang kalo beta skolah, nanti beta bisa jadi presiden “ buba menceritakan alasan mengapa dia bersekolah sambil merajut bambu untuk dibuat menjadi layang – layang “ beta juga punya dua orang kakak laki – laki. Dua – duanya pergi sekolah dikota tapi dong seng jadi presiden, yang pertama jadi buruh dipelabuhan dan yang kedua kerja di Matahari. Yang kedua bajunya bagus, walaupun seng jadi presiden, abang pakai baju hitam – hitam seperti pengawal presiden, kata bapak abang jadi penjaga counter pakaian dalam laki – laki, dia sering sekali mengirimkan beta dan bapak pakaian dalam baru “ buba meracau panjang, terus merajut bambu lalu sesekali menimbangnya dengan benang.

Setiap sore buba dan teman – temannya berkumpul di bukit batu untuk merayakan hari mereka dengan berbagai macam permainan mulai dari permainan hari – hari seperti benteng, perang nama, hasen hingga permaianan – permaianan musiman seperti layang – layang dan mutel[1]. Buba sudah duduk dibanguku kelas enam dan beberapa bulan lagi bersama teman – teman seumurannya akan memasuki ujian nasional yang berarti moment kelulusan mereka akan segera tiba tapi ternyata moment kelulusan tersebut bukanlah sebuah moment yang ditunggu – tunggu oleh buba dan teman – temannya karena tidak semua dari mereka akan bisa melanjutkan studi ke tingkat selanjutnya kecuali mereka yang memiliki biaya dan cukup keinginan untuk pindah ke seberang pulau tempat satu – satunya SMP terdekat berada.

Kamis, 05 Mei 2011

Kata Ibu " Perempuan Itu Kapal "

Kata ibu perempuan itu kapal. Laki – laki datang kedermaga, memilih kapal dan mengemudikannya ke laut bebas. Kata ibu, kapal itu harus kuat karena laut bebas yang akan diarungi itu sudah pasti luas dan laut luas itu sudah pasti buas dengan segala resiko sederhana yang ada didalamnya. Setiap kapal haruslah kuat untuk mampu menerima resiko yang akan dihadapinya. Hanya gelombang sajakah, badai besar atau malah mungkin tandas, karam dan tenggelam. Kata ibu perempuan itu kapal, dibawa pergi dengan hanya cukup diam dan menurut namun sebaik – baiknya kapal haruslah pandai – pandai bersyukur dan merasa yakin atas apa yang dimilikinya ketika harus melepas tali dari tautannya didermaga. Sekali lagi ibu bilang perempuan itu kapal dan aku adalah kapal yang ibu selalu bilang. Aku adalah perempuan dan aku adalah kapal. Begitu katanya.

Bagiku setiap kata yang meluncur dari bibir ibu adalah sabda. Suara alam yang menguatkanku betapa hidup sulit yang dengan kulit aku sentuh, dengan mata kurekam dan dengan hati aku cerna mampu menjadi pendar – pendar lampu yang menyala merah untuk melindungi dari gelap karena dinyalakan setelah magrib dan menjadi cahaya pertama yang dimiliki sebelum menjalani hari dibawah sinaran matahari karena dimatikan sebelum subuh. Bagiku ibu adalah nabi. Ibu adalah perasa, pemikir dan penentu tapi bagi ibu dengan filosofi ‘perempuan adalah kapal’ yang adalah ayat pertama dalam semua laku dan sikapnya ayahku adalah tuhan. Laki – laki yang datang kedermaga, memilihnya dan mengemudikannya ke laut luas.

Sering kali aku merasa kolot dengan semua asumsi ibu tentang perempuan yang adalah kapal. Bagiku zaman telah bertransformasi dengan segala macam paradigma baru dan perempuan tak lagi hanya bisa diam saja dan bisa menurut saja. Perempuan hari ini tak lagi harus dipaksakan untuk bersyukur atas apa yang sebenarnya membuatnya tertekan dan memendam sakit. Perempuan hari ini telah mampu berdiri sejajar dan duduk sama rata dengan laki – laki tapi aku selalu tak mampu memenangkan asumsi yang dikoar - koarkan media tentang kesetaraan gender tersebut. Begitu banyak yang kusentuh, begitu banyak yang kurekam dan begitu banyak juga yang kucerna dan kesemuanya itu adalah tentang ibu yang adalah kapal, tentang perempuan yang adalah kapal dan itu adalah alasan.

Kadang gamang aku melihat semua yang dimainkan ibu diatas pentasnya. Laut yang adalah misteri dijejalinya dengan pelan tapi pasti. Tak ada Tanya kecuali anggukan yang hadir bersamaan dengan kata ‘ya’ untuk semua permintaan. Dengan memilih menjadi kapal, ibu menjadi perempuan yang patuh dan menerima semua kejadian yang tergarisi dalam hidupnya. Tak ada belenggu patriarki dalam hidup perempuan yang ikhlas memilih menjadi kapal baginya.

Aku adalah anak kecil perempuan yang setiap paginya berdiri diam didepan pintu dapur menunggu ibu mengisi penuh bak mandi dan tempayan air minum dengan sebelumnya mengantri di tempat pengambilan air yang jaraknya seingatku lima rumah dari rumah kami lalu tergopoh –gopoh menjinjing bakul airnya sambil sekali – sekali berhenti ditengah perjalan untuk menyeka keringat dan membenarkan lengan bajunya yang sengaja digulung hingga tak adalagi tempat yang tak terisi dengan air lalu bergegas menyambar semua barang bawaanku dan melepasku didepan jalan untuk menumpang angkutan menuju mesjid raya tempat aku bersekolah.

Minggu, 01 Mei 2011

Kamu sempurna ketika (klakkk*) "lampu mati"

Menyapu pipinya lembut, menyibak pelan anak rambutnya yang terurai, memeluk erat tubuh nya dan mengecup manis kedua keningnya adalah semua hal yang selalu ingin aku lakukan berulang kali dalam setiap ketidakberdayaan ruang dan waktu untuk memisahkan. Ruang yang tertempuh sekian lama dan waktu yang tak pernah cukup untuk sekian cerita seperti selalu kembali ketitik nol ketika jarak kembali tiada.

Aku berdiri didepan pintu, menahan berat letihnya sebuah perjalanan dinas. Mengendap – ngendap karena tidak ingin ketahuan siapapun bahwa aku telah mencuri waktu untuk menuai rindu dari pohon yang dipelihara alam dengan hukumnya. Aku tahu aku tak bisa berpisah dengannya telalu lama, aku tahu aku tak bisa terlalu rindu padanya, aku tahu berpisah dengannya adalah berarti mimilih hidup dengan sesak nafas, aku tahu merindu padanya adalah seperti tersesat ditengah padang gurun dan mencari oase.

Aku mengetok pelan daun pintu. Menanti – nanti sebuah pesta penyambutan sederhana. Peluk hangat dan kecup sayang dua manusia yang secara temporer dipersatukan perasaan masing – masing. Perpisahan berbulan – bulan yang telah melahirkan satu tahun rindu membuatku tak sabar untuk memperlihatkan padanya surat dinas atas nama cinta dan kerinduan yang kubuatkan khusus untuknya. Aku tak sabar memberikan upeti berisi waktu yang kucuri setiap harinya atas nama kasih sayang kepadanya. Aku tak sabar menunggu pintu itu dibuka dan pesta resmi dimulai.

“ Jadi sekarang biu – biu kecilmu itu sudah masuk taman kanak – kanak ? pasti sekarang dia sedang lucu – lucunya. Aku ingin sekali melihatnya mengenakan seragam lengkap dengan perkakas tempat makan dan botol air minumnya, pasti lucu sekali itu.”

Aku memperhatikannya yang tersenyum – senyum sendiri sembari melihat ke jendela seakan – akan semua memori yang dibutuhkannya untuk menunaikan rasa keingin tahuannya hadir disana. Aku mendekap dalam tubuhnya yang direbahkan pasrah didalam pelukku. Dia menyediakan satu minggu terakhir untuk mempersiapkan hari ini, mempersiapkan malam ini. Baginya setiap kerinduan sudah tak lagi mampu dianggapnya rasional sehingga kata – kata tak lagi cukup untuk mewakili. Dia membuat semuanya dengan cinta dan kerinduan tak bernama katanya dimeja makan tadi. Dia membeli gaun, menyiapkan makan malam paling istimewa lengkap dengan lilin aroma terapi yang membungkus kelelahanku, dia membereskan semua yang dianggapnya akan merusak suasana termasuk membereskan kembali perasaannya yang berantakan karena jarang ada kabar dariku. Dia melakukan semuanya sendirian, seorang diri dan aku hanya bisa lemah memeluknya dalam.