Di penghujung tahun, waktu akan terasa lambat di Victoria
Park. Sepanjang Losari yang biasanya ramai akan mendadak sepi karena ditinggal
tutup cafe-cafe tenda yang tidak mampu menolak ombak yang pecah di talud lalu muntah
ke jalan. Laut pasang dan hujan yang menolak reda adalah kemanisan yang selalu
minta ditangisi lebih dalam.
Bagaimana langit bisa dalam cuaca yang mendung langit
menyemburkan gincu merah ketika pagi dan petang? Victoria Park punya jawaban
yang tidak bisa disangkal, satu dari sekelumit alasan yang membuat Aluta selalu
kembali ke sana sepanjang hari di bulan desember.
Waktu bisa berhenti berputar, tapi tidak kenangan.
“Bapak saya pejuang, mati dan mungkin dikubur di sana” Aluta
menunjuk tanah lapang di bagian barat Victoria Park, tepat di bawah benteng.
“Kamu mungkin butuh teh untuk menghangatkan badan. Ibuku
berjualan di sana” anak laki-laki yang diajak Aluta bicara menunjuk pondok
kecil di sisi kiri jalan “saya bisa pesankan untukmu asal kamu beri saya
persenan” tambahnya.
“Kapan ada kereta datang?” Tanya Aluta
Anak laki-laki yang ditanyai Aluta merogoh sapu dari dalam
tasnya dan menyapu genangan air di bangku taman “sebentar lagi senja, tapi
cuaca sedang kacau balau” jawab si anak laki-laki sambil menatap lurus ke Aluta
yang sudah berjongkok di sampingnya sambil menyodorkan selembar uang sepuluh
ribuan.