Ibu mencintaiku. Katanya cintanya padaku
melebihi cintanya kepada kambing-kambingnya. Tapi aku tidak percaya, aku selalu
merasa ibu lebih mencintai kambing-kambing peliharannya daripada mencintaiku
yang jelas-jelas adalah anaknya. Perasaan memang selalu lebih kuat ketimbang
akal sehat tapi sebaliknya perasaanlah yang lebih sering melakukan kesalahan
ketimbang akal sehat. Aku memiliki sebuah kesalahan karena perasaan, kesalahan
yang membuatku selalu merasa buruk dimata rinduku kepada ibu.
Aku tak tahu benar kapan pertama kali ibu
punya kambing dan dengan berapa ekor kambing dirinya mulai membaktikan diri
kepada hewan yang terkenal bau karena takut air tersebut. Ketika aku umur 5
tahun, aku sudah mendapati halaman belakang kami yang luas penuh dengan
kambing. Ibu bilang dia membeli beberapa ekor kambing ketika ayah meninggal.
Aku tidak sepenuhnya percaya dengan cerita itu, sebab aku merasa ibu telah
hidup beratus-ratus tahun dengan kambing-kambing peliharannya hingga memiliki
rasa sayang yang lebih sering kuanggap sebagai bentuk ketidakadilannya
kemudian. Tapi bahwa adapun cerita itu benar adanya, entang berapa jumlah yang
dibelinya pertama kali ibu tidak pernah menceritakannya.
Bila pagi oleh ibu guru digambarkan dengan
ayam, aku menggantikannya dengan kambing. Suara kambing yang ribut di
pekarangan belakang adalah suara pertama yang aku dengar ketika bangun pagi.
Setelah suara kambing, suara ibu yang bercakap-cakap dengan kambing-kambing
adalah suara kedua. Kesedihan pertamaku, ibu lebih sering bercakap-cakap dengan
kambing-kambingnya ketimbang dengan anak laki-laki semata wayangnya.
Di ulang tahunku yang kesepeluh, ibu memiliki
201 ekor kambing. Ibu menghadiahiku 1 ekor kambing berumur 6 bulan yang
dinamainya Mbing untuknya. Mbing
adalah panggilan yang kuberikan untuk semua kambing peliharannya ibu manakala
aku terpaksa berkomunikasi dengan mereka. Dari keseluruhan kambingnya, tidak ada
satupun kambing yang diberinya nama--kecuali Mbing.
Mbing menemaniku, tapi aku tidak pernah
menemaninya. Meski ibu telah menghadiahkan Mbing kepadaku, ibulah yang selalu
merawat Mbing, bukan aku. Seperti selalu dipesankan oleh ibu, Mbing tumbuh
menjadi kambing yang penurut dan tidak banyak menuntut. Mbing setia, membuntuti
kemanapun aku pergi. Sebuah pelajaran penting yang kuyakini kemudian, binatang
bisa lebih setia dari manusia namun manusia selalu merasa lebih tinggi dari
binatang.
Ibu punya banyak kambing, tapi hal tersebut
tidak lantas membuatnya menjadi pedagang kambing. Ibu hanya mau menjual kambing
yang berumur 6 bulan, sebab baginya seseorang yang baik harus terlebih dahulu
merawat kambingnya sebelum akhirnya dipotong sesuai waktu yang ditentukan. Bila
sudah berumur 8 bulan, ibu tidak akan lagi menjual kambing-kambing mudanya
tersebut dan memilih merawatnya. Itu sebab ibu punya banyak kambing, binatang
yang diperlakukannya dengan sangat manusiawi seakan-akan mereka mengerti
perihal kasih sayangnya.
Aku cemburu. Aku cemburu kepada
kambing-kambing yang bagiku merampas ibu dariku, seseorang yang harusnya memenuhi
semua keinginanku¾bukan keinginan binatang-binatang peliharaannya itu. Ibu
membersihkan sendiri kotoran kambing yang bulat-bulat seperti biji buah gondal
versi ketumpahan cat cokelat atau mirip bentuk cokelat yang kelak aku benci
setengah mati karena selalu mengingatkanku kepada kambing-kambing ibu, sedang
aku dilimpahkan kepada seorang perempuan bernama Rahmi, perempuan yang kuyakini
bau tubuhnya seperti bau matahariku sehingga kuberi nama bibi bau matahari. Ibu
mengurusi semua tetek bengek peliharannya, sedang aku sepenuhnya diurus Rahmi
yang rambutnya sudah berwarna perak ketika aku baru berumur 7 tahun.
Rasa cemburuku yang melebihi ukuran tubuhku
membuat Mbing hanya bertahan 1 tahun dengannku. Mbing aku kembalikan kepada ibu
secara tidak langsung dengan cara menggantungnya di pohon mangga dekat lapangan
bola. Peristiwa ditemukannya se-ekor kambing digantung di pohon mangga tersebut
membuat geger semua orang di kampung yang lekas-lekas memanggil ibuku yang
mereka yakini sebagai pemilik sah kambing bernasib na’as itu. Ibu tidak pernah
menghukumku, tidak pernah sekalipun bahkan untuk perkara yang kuyakini
membuatnya murka tersebut. Dengan gayanya yang lemah lembut, ibu hanya
mengingatkan aku untuk tidak sering-sering memanjat pohon mangga karena usiaku
baru 7 tahun.
“kamu boleh memanjat pohon apapun ketika kamu
sudah besar” kata ibu.
Aku kecewa karena ibu tidak jua memberikan
perhatiannya kepadaku meski penolakanku sudah se-ekstrim itu kepada
kambing-kambingnya. Mbing yang diselamatkan setelah beberapa jam digantung
dengan posisi kaki diikat dan kepala menggantung ke bawah sempat hidup
sakit-sakitan selama seminggu. Mbing, kambing hadiah yang belum genap berumur 2
tahun itu menceburkan diri dan hanyut di sungai. Mbing bunuh diri. Mbing
menebus kesalahannya karena gagal menjadi pengawalku, gagal menjalankan tugas
yang diembankan ratu adilnya.
Aku tidak pernah memanjat pohon lagi, sebab
pohon selalu mengingatkan aku kepada Mbing. Aku juga selalu teringat Mbing bila
sedang dalam keadaan takut ketika tak sengaja berpapasan dengan anjing
berukuran besar yang lidahnya selalu terjulur mengeluarkan liur. Mbing pernah
memasang kuda-kuda siap bergulat dengan se-ekor anjing herder yang mencegat
kami dalam perjalanan sepulang dari sekolah. Mbing yang tidak seberapa ukurannya
entah telah berkata apa sehingga anjing besar tersebur minggir dan kamipun
selamat. Aku kehilangan Mbing, keangkuhan pertamaku yang kusadari sebab tidak
pernah kusampaikan kenyataan itu kepala ibu.
Suatu pagi, dihari pengambilan raport dan kenaikan kelas, bibi bau matahariku pergi dengan meninggalkan sepucuk surat berisi ucapan pamit dan terima kasih. Bibi bau matahari yang tabah meredam kemarahanku pergi dengan seorang pria yang di dalam surat diceritakannya berjanji akan menikahinya. Aku tidak pernah percaya rambut bibi bau matahari yang berwarna perak akan berubah menjadi kembali hitam dalam semalam, kecuali bila dirinya cukup percaya bahwa perkara umur bisa dituntaskan hanya dengan bermodal cat rambut. Kepergian bibi bau matahari pagi itu membuat ibu harus menemaniku ke sekolah. Aku senang luar biasa dan bersyukur bibi bau matahariku pergi, sebab untuk pertama kalinya ibu menemaniku ke sekolah dan mendengar pengumuman kenaikan kelasku. Aku yang terpintar di kelas 1, 2 dan 3--dan dihari itu, aku jualah yang terpintar di kelas 4. Seperti biasa aku pulang mengantongi peringkat pertama, sesuatu yang kuyakini akan menjadi kesan mendalam bagi ibu yang ternyata bersikap biasa-biasa saja. Setelah mengusap rambutku yang waktu itu berponi seperti Yon Koeswoyo ketika keluar kelas, tidak ada lagi reaksi yang ibu berikan. Sepanjang perjalanan pulang kami tidak membicarakan apa-apa, aku tahu ibu tergesa-gesa ingin tiba di rumah untuk mengurusi kambing-kambingnya yang mungkin sudah kelaparan. Ibu tidak mencintaiku, penghakiman pertama yang kulakukan terjadi hari itu.
Aku
meminta ibu membelikanku sepatu starmoon sebagai hadiah kenaikan kelas, sepatu
yang membuatku terkagum-kagum karena ada lampu warna-warni di alas bagian
belakangnya. Ibu bilang kebun singkongnya belum bisa dipanen sehingga dirinya
tidak punya cukup uang untuk membelikannya. Aku merajuk dan memintanya menjual
beberapa ekor kambing untuk membelikanku sepatu aduhai tersebut, tapi ibu malah
merebus daun singkong dan membuatnya menjadi lauk perayaan kenaikan kelasku.
Aku tidak pernsah lupa keinginanku yang tidak pernah terwujud itu, aku
menyimpan dendam membara kepada kambing-kambing tidak tahu diri yang setiap
hari hanya bisa mengembing.
Bila
ada yang harus kuakui dari kambing-kambing peliharannya ibu, hal itu tentulah
tentang bagaimana mereka yang meski dilepas berhamburan dipekarangan belakang
setiap hari, tak satupun tanaman singkong ibu yang rusak. Kambing rakus
singkong, tapi tidak dengan kambing-kambing ibu yang dibekalinya kepercayaan
dan tanggung jawab tersebut.
Ketika
aku berusia lima belas tahun dan mulai mencuri-curi paham tentang
cinta-cintaan, aku sempat berpikiran buruk tentang ibu. Bagiku ibu telah
selingkuh, ibu telah lebih mencintai kambing-kambingnya ketimbang mencintai
ayah sehingga membuat ayah depresi dan mati. Bila ibu menyebut kambing sebagai
pelariannya setelah kematian ayah, aku berspekulasi sebaliknya bahwa kambing
adalah penyebab kematian yang hanya kukenal lewat selembar foto.
Ada
waktunya aku menyerah menaruh sakit hati kepada kambing-kambing yang
seakan-akan tumbuh lebih sehat dariku dan merindukan bibi bau matahari. Dia
selalu berkata dengan suara gemetar dan bau keletihan yang menguap dari
tubuhnya.
“
ibumu mencintaimu lebih dari apapun, takut kehilanganlah yang membuatnya ingin
kamu besar tanpa dirinya bergantung terlalu banyak padamu”
Aku
tak paham apa yang disampaikan bibi bau matahari yang konon telah menjadi
pembantu keluarga ibu sejak berumur belasan itu. Bibi bau matahari memiliki
lengan yang berotot dan mampu mengerjakan banyak pekerjaan dalam satu waktu,
aku tahu ibu juga merindukannya karena kelabakan melakukan semua hal yang
sebelumnya dilakukan olehnya. Bibi bau matahari adalah contoh manusia setia,
yang namun meski kesetiaannya kepada ibu dan keluarganya tak terbilang
jumlahnya akhirnya juga memilih nasibnya sendiri. Apa yang dikatakan bibi bau
matahari dihari ketika aku menangis dan dirinya mengendongku dipunggungnya itu
baru kupahami bertahun-tahun kemudian. Aku menangis ketika menyadari itu.
Masih
ketika aku berumur 15 tahun, ada dua peristiwa yang mengguncang ibu. pertama,
dalam kurun waktu 6 bulan, puluhan kambingnya mati terserang penyakit yang
entah apa namanya. Ibu menguburkan dengan tangannya sendiri satu per satu
kambing ajaibnya yang tak mampu bertahan hidup itu, kambing-kambing ajaib yang
dalam kesadaran pengetahuanku suatu ketika membuatku terpukau karena ternyata
telah berumur lebih dari kesempatan pada umumnya mereka sebagai kambing. Ibu
berair mata ketika menggubur kambing betina yang konon adalah kambing pertama
yang dimilikinya. Kambing yang telah berumur 20 tahun, kambing yang dibeli
ketika berumur 5 tahun dan menjadi asal muasal ratusan kambing lain yang
dirawat ibu dengan sabar itu. Kedua, aku lulus SMP dan harus melanjutkan ke
jenjang berikutnya, ibu tidak punya uang sedang biasa masuk sekolah negeri
melejit tajam. Ibu menjual kambing-kambingnya keseorang tengkulak di pasar, hal
yang kuyakin tidak akan dilakukannya bila tidak dalam keadaan terjepit.
Aku
tumbuh menjadi anak remaja yang aktif dan tak lagi mempedulikan ibu berikut
rasa cintanya yang tetap terjaga kepada kambing-kambingnya yang tinggal
beberapa ekor saja itu. Kemarahanku meledak kembali ketika pada suatu hari aku
mengajak seorang teman perempuan yang rencananya akan kuperkenalkan kepada ibu.
aku hancur, aku kecewa ketika akhirnya perempuan teman sekelasku tersebut
memberi nama untuk ibu. Perempuan tak bersalah yang setelah itu aku tinggalkan
menyebut ibu gila karena tak sengaja kami pergoki sedang mengobrol dengan
kambing-kambingnya. Aku batal memperkenalkan perempuan yang berulang kali minta
maaf itu kepada ibu. Bila ibu juga memiliki mata di punggungnya waktu itu, dia
tentu tahu betapa rusak kepala anaknya waktu itu.
Umurku
sudah 17 tahun, sedang ibu adalah kelipatan dua dari umurku. Beberapa bulan
lagi aku akan menamatkan jejang pendidikan SMA. Aku bercita-cita menjadi ahli
hokum, sehingga mau tak mau harus pergi ke kota untuk melanjutkan sekolah. Aku
telah bersalah kepada ibu. Kesalahan yang membakar habis jerami kemarahanku,
cemburu bertahun-tahun hilang dalam sekejap.
Besok
lebaran idul adha, tapi tak satu ekorpun kambing nampak muncul di halaman
mesjid. Waktu itu ibu sedang tidak enak badan dan hanya tidur seharian sehingga
tidak menjenguk kambing-kambingnya. Kugiring kambing-kambing ibu yang jumlahnya
tidak lagi genap sepuluh ekor ke halaman mesjid. ibu setiap tahun memang
menyerahkan satu sampai dua ekor kambing kepada penghulu mesjid untuk
dikorbankan, tapi tidak pernah sebanyak itu. Aku meyakinkan penghulu mesjid
untuk menerima kambing-kambing itu dengan alasan bahwa ibu ingin berkurban lebih
banyak untuk merayakan hari raya yang sepi sumbangan kambing tersebut.
Hari
itu, hari ketika takbir berkumandang seantero negeri, sehabis sholat aku
menemukan ibu duduk di kursi dengan selendang yang terbalut di leher. Tak
sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, pandangannya kosong menatapku. Aku
memapah ibu masuk ke kamar dan membaringkannya di tempat tidur. Tak ada
penolakan dari ibu, tak ada gugatan dan tak ada marah seperti biasa. Aku merenggut
kebahagiaan ibu, aku merampas harta terbaiknya¾itulah satu-satunya yang
kusadari kemudian.
Aku
pergi ke kota setahun setelah itu, setahun setelah ibu memaksa dirinya memulai
rutinitas baru sebagai penjahit pesanan. Ibu mengkhlaskan kepergianku dan lagi-lagi
menunjukan betapa dirinya berbesar hati melepaskanku. Setahun setelah
kepergianku, aku mendapatkan kabar bahwa ibu meninggal dalam tidur dan seekor
kambing menemani disisi kaki tempat tidurnya.
Aku
terpukul, aku hancur menerima kenyataan bahwa ibu pergi sebelum bisa aku
banggakan. Sebuah kesalahan, betapa sebenarnya ibu sudah berbangga kepadaku
jauh sebelum aku menyadarinya. Ibu bangga ketika aku telah menghabiskan masa
kecilku dengan meredam cemburu, memendam marah dan tidak pernah terbangun ketika
setiap malam ketika sudah tertidur, dirinya adalah pencuri yang
mengendap-ngendap masuk untuk mencium keningku. Aku kecewa pada diriku sendiri.
Malam
ini, takbir datang lagi. seantero kota disesaki bau kambing yang tinggal
menunggu ajal. Aku terjebak di dalam metro mini, berikut setumpuk ingatan tentang
ibu. Aku ingat kambing-kambing kesayangannya yang begitu aku cemburui, aku
teringat mbing yang aku sia-siakan, aku teringat bibi bau matahari yang
menuliskan pesan dikepalaku. Aku teringat kesalahanku telah merampas
kambing-kambing ibu dan berfikir bahwa menjahit adalah perkara yang masuk akal
untuk menggantikannya.
Suatu
hari, 3 tahun setelah meninggalnya ibu aku bertemu saudara jauh ibu bernama
Samili. Dari saudara jauh ibu itu aku seperti mendengar kembali riwayat
kehidupan keluargaku. Aku mendengar tentang bagaimana ayah dan ibu bertemu, aku
mendengar bagaimana mereka menikah, bagaimana ketika ibu hamil dan ayah
langsung memberi nama Pandu. Ayah sejak awal yakin anaknya laki-laki sehingga
tidak menyediakan opsi nama untuk anak perempuan. Ibu yang penyayang, penyabar
dan pandai bersyukur begitu mencintai ayah, sayang laki-laki yang dicintainya
itu berumur pendek.
Dari
Samili aku tahu perihal asal muasal kambing dalam hidup ibu, aku tertegun lama
sekali untuk meredam gemuruh di dalam dadaku ketika mengetahui alasan mengapa
dia begitu mencintai kambing-kambing tersebut dan seakan-akan tidak
mencintaiku.
“
ayahmu meninggal setelah dihakimi massa. Dia datang ke mesjid membawa seekor
kambing untuk dikorbankan, tapi orang-orang kampung tidak mau menerimanya
karena mengecap bapakmu tidak beragama. Ayahmu seorang cerdas yang prinsipil,
tapi dia kalah dalam soal jumlah. “ Samili terbata-bata meceritakan apa yang
dikatetahuinya “perut ayahmu robek ditusuk beberapa kali. Ibumu menerima ayahmu
yang babak belur dan tinggal menunggu maut di depan pintu. Sehari setelah
pemakaman ayahmu, ibumu pergi dari kampung. Dia pergi dengan membawa kambing
ayahmu dan kamu yang Sembilan bulan di perutnya”.
“ibumu
perempuan yang kuat” lanjut Samili.
Ibu
sungguh mencintai ayah, dia merasa bergantung dan tidak bisa hidup tanpanya¾itulah sebab mengapa ibu
memilih kambing, bukan memilihku. Ibu tahu suatu hari dia akan kehilanganku.
Ibu mempersiapkan dirinya jauh-jauh hari sebelum takdir itu datang. Ibu tidak
ingin kehilangan tapi dirinya paham bahwa hal itu tidaklah mungkin. Aku mengerti
apa yang dikatakan bibi bau matahari akhirnya.
Aku
takjub akan ketabahan ibu, akan kesabaran dan kegigihannya melawan kenyataan.
Hati ibu yang cuma sekepal mendadak lebih lapang dari langit.
Aku merindukan ibu. Aku merindukannya melebihi
rinduku akan masa depan. Tapi ibu sudah tiada dan penyesalan memang selalu
datang dari belakang. Aku merindukan ibu, ketika jalan-jalan tersendat dan bau
kambing begitu menyengat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar