Jumat, 26 Oktober 2012

KAMBING-KAMBING IBU


Ibu mencintaiku. Katanya cintanya padaku melebihi cintanya kepada kambing-kambingnya. Tapi aku tidak percaya, aku selalu merasa ibu lebih mencintai kambing-kambing peliharannya daripada mencintaiku yang jelas-jelas adalah anaknya. Perasaan memang selalu lebih kuat ketimbang akal sehat tapi sebaliknya perasaanlah yang lebih sering melakukan kesalahan ketimbang akal sehat. Aku memiliki sebuah kesalahan karena perasaan, kesalahan yang membuatku selalu merasa buruk dimata rinduku kepada ibu.

Aku tak tahu benar kapan pertama kali ibu punya kambing dan dengan berapa ekor kambing dirinya mulai membaktikan diri kepada hewan yang terkenal bau karena takut air tersebut. Ketika aku umur 5 tahun, aku sudah mendapati halaman belakang kami yang luas penuh dengan kambing. Ibu bilang dia membeli beberapa ekor kambing ketika ayah meninggal. Aku tidak sepenuhnya percaya dengan cerita itu, sebab aku merasa ibu telah hidup beratus-ratus tahun dengan kambing-kambing peliharannya hingga memiliki rasa sayang yang lebih sering kuanggap sebagai bentuk ketidakadilannya kemudian. Tapi bahwa adapun cerita itu benar adanya, entang berapa jumlah yang dibelinya pertama kali ibu tidak pernah menceritakannya.


Bila pagi oleh ibu guru digambarkan dengan ayam, aku menggantikannya dengan kambing. Suara kambing yang ribut di pekarangan belakang adalah suara pertama yang aku dengar ketika bangun pagi. Setelah suara kambing, suara ibu yang bercakap-cakap dengan kambing-kambing adalah suara kedua. Kesedihan pertamaku, ibu lebih sering bercakap-cakap dengan kambing-kambingnya ketimbang dengan anak laki-laki semata wayangnya.

Di ulang tahunku yang kesepeluh, ibu memiliki 201 ekor kambing. Ibu menghadiahiku 1 ekor kambing berumur 6 bulan yang dinamainya Mbing untuknya. Mbing adalah panggilan yang kuberikan untuk semua kambing peliharannya ibu manakala aku terpaksa berkomunikasi dengan mereka. Dari keseluruhan kambingnya, tidak ada satupun kambing yang diberinya nama--kecuali Mbing.

Mbing menemaniku, tapi aku tidak pernah menemaninya. Meski ibu telah menghadiahkan Mbing kepadaku, ibulah yang selalu merawat Mbing, bukan aku. Seperti selalu dipesankan oleh ibu, Mbing tumbuh menjadi kambing yang penurut dan tidak banyak menuntut. Mbing setia, membuntuti kemanapun aku pergi. Sebuah pelajaran penting yang kuyakini kemudian, binatang bisa lebih setia dari manusia namun manusia selalu merasa lebih tinggi dari binatang.

Ibu punya banyak kambing, tapi hal tersebut tidak lantas membuatnya menjadi pedagang kambing. Ibu hanya mau menjual kambing yang berumur 6 bulan, sebab baginya seseorang yang baik harus terlebih dahulu merawat kambingnya sebelum akhirnya dipotong sesuai waktu yang ditentukan. Bila sudah berumur 8 bulan, ibu tidak akan lagi menjual kambing-kambing mudanya tersebut dan memilih merawatnya. Itu sebab ibu punya banyak kambing, binatang yang diperlakukannya dengan sangat manusiawi seakan-akan mereka mengerti perihal kasih sayangnya.

Aku cemburu. Aku cemburu kepada kambing-kambing yang bagiku merampas ibu dariku, seseorang yang harusnya memenuhi semua keinginanku¾bukan keinginan binatang-binatang peliharaannya itu. Ibu membersihkan sendiri kotoran kambing yang bulat-bulat seperti biji buah gondal versi ketumpahan cat cokelat atau mirip bentuk cokelat yang kelak aku benci setengah mati karena selalu mengingatkanku kepada kambing-kambing ibu, sedang aku dilimpahkan kepada seorang perempuan bernama Rahmi, perempuan yang kuyakini bau tubuhnya seperti bau matahariku sehingga kuberi nama bibi bau matahari. Ibu mengurusi semua tetek bengek peliharannya, sedang aku sepenuhnya diurus Rahmi yang rambutnya sudah berwarna perak ketika aku baru berumur 7 tahun.

Rasa cemburuku yang melebihi ukuran tubuhku membuat Mbing hanya bertahan 1 tahun dengannku. Mbing aku kembalikan kepada ibu secara tidak langsung dengan cara menggantungnya di pohon mangga dekat lapangan bola. Peristiwa ditemukannya se-ekor kambing digantung di pohon mangga tersebut membuat geger semua orang di kampung yang lekas-lekas memanggil ibuku yang mereka yakini sebagai pemilik sah kambing bernasib na’as itu. Ibu tidak pernah menghukumku, tidak pernah sekalipun bahkan untuk perkara yang kuyakini membuatnya murka tersebut. Dengan gayanya yang lemah lembut, ibu hanya mengingatkan aku untuk tidak sering-sering memanjat pohon mangga karena usiaku baru 7 tahun.

“kamu boleh memanjat pohon apapun ketika kamu sudah besar” kata ibu.

Aku kecewa karena ibu tidak jua memberikan perhatiannya kepadaku meski penolakanku sudah se-ekstrim itu kepada kambing-kambingnya. Mbing yang diselamatkan setelah beberapa jam digantung dengan posisi kaki diikat dan kepala menggantung ke bawah sempat hidup sakit-sakitan selama seminggu. Mbing, kambing hadiah yang belum genap berumur 2 tahun itu menceburkan diri dan hanyut di sungai. Mbing bunuh diri. Mbing menebus kesalahannya karena gagal menjadi pengawalku, gagal menjalankan tugas yang diembankan ratu adilnya.

Aku tidak pernah memanjat pohon lagi, sebab pohon selalu mengingatkan aku kepada Mbing. Aku juga selalu teringat Mbing bila sedang dalam keadaan takut ketika tak sengaja berpapasan dengan anjing berukuran besar yang lidahnya selalu terjulur mengeluarkan liur. Mbing pernah memasang kuda-kuda siap bergulat dengan se-ekor anjing herder yang mencegat kami dalam perjalanan sepulang dari sekolah. Mbing yang tidak seberapa ukurannya entah telah berkata apa sehingga anjing besar tersebur minggir dan kamipun selamat. Aku kehilangan Mbing, keangkuhan pertamaku yang kusadari sebab tidak pernah kusampaikan kenyataan itu kepala ibu.

Suatu pagi, dihari pengambilan raport dan kenaikan kelas, bibi bau matahariku pergi dengan meninggalkan sepucuk surat berisi ucapan pamit dan terima kasih. Bibi bau matahari yang tabah meredam kemarahanku pergi dengan seorang pria yang di dalam surat diceritakannya berjanji akan menikahinya. Aku tidak pernah percaya rambut bibi bau matahari yang berwarna perak akan berubah menjadi kembali hitam dalam semalam, kecuali bila dirinya cukup percaya bahwa perkara umur bisa dituntaskan hanya dengan bermodal cat rambut. Kepergian bibi bau matahari pagi itu membuat ibu harus menemaniku ke sekolah. Aku senang luar biasa dan bersyukur bibi bau matahariku pergi, sebab untuk pertama kalinya ibu menemaniku ke sekolah dan mendengar pengumuman kenaikan kelasku. Aku yang terpintar di kelas 1, 2 dan 3--dan dihari itu, aku jualah yang terpintar di kelas 4. Seperti biasa aku pulang mengantongi peringkat pertama, sesuatu yang kuyakini akan menjadi kesan mendalam bagi ibu yang ternyata bersikap biasa-biasa saja. Setelah mengusap rambutku yang waktu itu berponi seperti Yon Koeswoyo ketika keluar kelas, tidak ada lagi reaksi yang ibu berikan. Sepanjang perjalanan pulang kami tidak membicarakan apa-apa, aku tahu ibu tergesa-gesa ingin tiba di rumah untuk mengurusi kambing-kambingnya yang mungkin sudah kelaparan. Ibu tidak mencintaiku, penghakiman pertama yang kulakukan terjadi hari itu.

Aku meminta ibu membelikanku sepatu starmoon sebagai hadiah kenaikan kelas, sepatu yang membuatku terkagum-kagum karena ada lampu warna-warni di alas bagian belakangnya. Ibu bilang kebun singkongnya belum bisa dipanen sehingga dirinya tidak punya cukup uang untuk membelikannya. Aku merajuk dan memintanya menjual beberapa ekor kambing untuk membelikanku sepatu aduhai tersebut, tapi ibu malah merebus daun singkong dan membuatnya menjadi lauk perayaan kenaikan kelasku. Aku tidak pernsah lupa keinginanku yang tidak pernah terwujud itu, aku menyimpan dendam membara kepada kambing-kambing tidak tahu diri yang setiap hari hanya bisa mengembing.

Bila ada yang harus kuakui dari kambing-kambing peliharannya ibu, hal itu tentulah tentang bagaimana mereka yang meski dilepas berhamburan dipekarangan belakang setiap hari, tak satupun tanaman singkong ibu yang rusak. Kambing rakus singkong, tapi tidak dengan kambing-kambing ibu yang dibekalinya kepercayaan dan tanggung jawab tersebut.

Ketika aku berusia lima belas tahun dan mulai mencuri-curi paham tentang cinta-cintaan, aku sempat berpikiran buruk tentang ibu. Bagiku ibu telah selingkuh, ibu telah lebih mencintai kambing-kambingnya ketimbang mencintai ayah sehingga membuat ayah depresi dan mati. Bila ibu menyebut kambing sebagai pelariannya setelah kematian ayah, aku berspekulasi sebaliknya bahwa kambing adalah penyebab kematian yang hanya kukenal lewat selembar foto.

Ada waktunya aku menyerah menaruh sakit hati kepada kambing-kambing yang seakan-akan tumbuh lebih sehat dariku dan merindukan bibi bau matahari. Dia selalu berkata dengan suara gemetar dan bau keletihan yang menguap dari tubuhnya.

“ ibumu mencintaimu lebih dari apapun, takut kehilanganlah yang membuatnya ingin kamu besar tanpa dirinya bergantung terlalu banyak padamu”

Aku tak paham apa yang disampaikan bibi bau matahari yang konon telah menjadi pembantu keluarga ibu sejak berumur belasan itu. Bibi bau matahari memiliki lengan yang berotot dan mampu mengerjakan banyak pekerjaan dalam satu waktu, aku tahu ibu juga merindukannya karena kelabakan melakukan semua hal yang sebelumnya dilakukan olehnya. Bibi bau matahari adalah contoh manusia setia, yang namun meski kesetiaannya kepada ibu dan keluarganya tak terbilang jumlahnya akhirnya juga memilih nasibnya sendiri. Apa yang dikatakan bibi bau matahari dihari ketika aku menangis dan dirinya mengendongku dipunggungnya itu baru kupahami bertahun-tahun kemudian. Aku menangis ketika menyadari itu.

Masih ketika aku berumur 15 tahun, ada dua peristiwa yang mengguncang ibu. pertama, dalam kurun waktu 6 bulan, puluhan kambingnya mati terserang penyakit yang entah apa namanya. Ibu menguburkan dengan tangannya sendiri satu per satu kambing ajaibnya yang tak mampu bertahan hidup itu, kambing-kambing ajaib yang dalam kesadaran pengetahuanku suatu ketika membuatku terpukau karena ternyata telah berumur lebih dari kesempatan pada umumnya mereka sebagai kambing. Ibu berair mata ketika menggubur kambing betina yang konon adalah kambing pertama yang dimilikinya. Kambing yang telah berumur 20 tahun, kambing yang dibeli ketika berumur 5 tahun dan menjadi asal muasal ratusan kambing lain yang dirawat ibu dengan sabar itu. Kedua, aku lulus SMP dan harus melanjutkan ke jenjang berikutnya, ibu tidak punya uang sedang biasa masuk sekolah negeri melejit tajam. Ibu menjual kambing-kambingnya keseorang tengkulak di pasar, hal yang kuyakin tidak akan dilakukannya bila tidak dalam keadaan terjepit.

Aku tumbuh menjadi anak remaja yang aktif dan tak lagi mempedulikan ibu berikut rasa cintanya yang tetap terjaga kepada kambing-kambingnya yang tinggal beberapa ekor saja itu. Kemarahanku meledak kembali ketika pada suatu hari aku mengajak seorang teman perempuan yang rencananya akan kuperkenalkan kepada ibu. aku hancur, aku kecewa ketika akhirnya perempuan teman sekelasku tersebut memberi nama untuk ibu. Perempuan tak bersalah yang setelah itu aku tinggalkan menyebut ibu gila karena tak sengaja kami pergoki sedang mengobrol dengan kambing-kambingnya. Aku batal memperkenalkan perempuan yang berulang kali minta maaf itu kepada ibu. Bila ibu juga memiliki mata di punggungnya waktu itu, dia tentu tahu betapa rusak kepala anaknya waktu itu.

Umurku sudah 17 tahun, sedang ibu adalah kelipatan dua dari umurku. Beberapa bulan lagi aku akan menamatkan jejang pendidikan SMA. Aku bercita-cita menjadi ahli hokum, sehingga mau tak mau harus pergi ke kota untuk melanjutkan sekolah. Aku telah bersalah kepada ibu. Kesalahan yang membakar habis jerami kemarahanku, cemburu bertahun-tahun hilang dalam sekejap.

Besok lebaran idul adha, tapi tak satu ekorpun kambing nampak muncul di halaman mesjid. Waktu itu ibu sedang tidak enak badan dan hanya tidur seharian sehingga tidak menjenguk kambing-kambingnya. Kugiring kambing-kambing ibu yang jumlahnya tidak lagi genap sepuluh ekor ke halaman mesjid. ibu setiap tahun memang menyerahkan satu sampai dua ekor kambing kepada penghulu mesjid untuk dikorbankan, tapi tidak pernah sebanyak itu. Aku meyakinkan penghulu mesjid untuk menerima kambing-kambing itu dengan alasan bahwa ibu ingin berkurban lebih banyak untuk merayakan hari raya yang sepi sumbangan kambing tersebut.

Hari itu, hari ketika takbir berkumandang seantero negeri, sehabis sholat aku menemukan ibu duduk di kursi dengan selendang yang terbalut di leher. Tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, pandangannya kosong menatapku. Aku memapah ibu masuk ke kamar dan membaringkannya di tempat tidur. Tak ada penolakan dari ibu, tak ada gugatan dan tak ada marah seperti biasa. Aku merenggut kebahagiaan ibu, aku merampas harta terbaiknya¾itulah satu-satunya yang kusadari kemudian.

Aku pergi ke kota setahun setelah itu, setahun setelah ibu memaksa dirinya memulai rutinitas baru sebagai penjahit pesanan. Ibu mengkhlaskan kepergianku dan lagi-lagi menunjukan betapa dirinya berbesar hati melepaskanku. Setahun setelah kepergianku, aku mendapatkan kabar bahwa ibu meninggal dalam tidur dan seekor kambing menemani disisi kaki tempat tidurnya.

Aku terpukul, aku hancur menerima kenyataan bahwa ibu pergi sebelum bisa aku banggakan. Sebuah kesalahan, betapa sebenarnya ibu sudah berbangga kepadaku jauh sebelum aku menyadarinya. Ibu bangga ketika aku telah menghabiskan masa kecilku dengan meredam cemburu, memendam marah dan tidak pernah terbangun ketika setiap malam ketika sudah tertidur, dirinya adalah pencuri yang mengendap-ngendap masuk untuk mencium keningku. Aku kecewa pada diriku sendiri.

Malam ini, takbir datang lagi. seantero kota disesaki bau kambing yang tinggal menunggu ajal. Aku terjebak di dalam metro mini, berikut setumpuk ingatan tentang ibu. Aku ingat kambing-kambing kesayangannya yang begitu aku cemburui, aku teringat mbing yang aku sia-siakan, aku teringat bibi bau matahari yang menuliskan pesan dikepalaku. Aku teringat kesalahanku telah merampas kambing-kambing ibu dan berfikir bahwa menjahit adalah perkara yang masuk akal untuk menggantikannya.    

Suatu hari, 3 tahun setelah meninggalnya ibu aku bertemu saudara jauh ibu bernama Samili. Dari saudara jauh ibu itu aku seperti mendengar kembali riwayat kehidupan keluargaku. Aku mendengar tentang bagaimana ayah dan ibu bertemu, aku mendengar bagaimana mereka menikah, bagaimana ketika ibu hamil dan ayah langsung memberi nama Pandu. Ayah sejak awal yakin anaknya laki-laki sehingga tidak menyediakan opsi nama untuk anak perempuan. Ibu yang penyayang, penyabar dan pandai bersyukur begitu mencintai ayah, sayang laki-laki yang dicintainya itu berumur pendek.

Dari Samili aku tahu perihal asal muasal kambing dalam hidup ibu, aku tertegun lama sekali untuk meredam gemuruh di dalam dadaku ketika mengetahui alasan mengapa dia begitu mencintai kambing-kambing tersebut dan seakan-akan tidak mencintaiku.

“ ayahmu meninggal setelah dihakimi massa. Dia datang ke mesjid membawa seekor kambing untuk dikorbankan, tapi orang-orang kampung tidak mau menerimanya karena mengecap bapakmu tidak beragama. Ayahmu seorang cerdas yang prinsipil, tapi dia kalah dalam soal jumlah. “ Samili terbata-bata meceritakan apa yang dikatetahuinya “perut ayahmu robek ditusuk beberapa kali. Ibumu menerima ayahmu yang babak belur dan tinggal menunggu maut di depan pintu. Sehari setelah pemakaman ayahmu, ibumu pergi dari kampung. Dia pergi dengan membawa kambing ayahmu dan kamu yang Sembilan bulan di perutnya”.

“ibumu perempuan yang kuat” lanjut Samili.
Ibu sungguh mencintai ayah, dia merasa bergantung dan tidak bisa hidup tanpanya¾itulah sebab mengapa ibu memilih kambing, bukan memilihku. Ibu tahu suatu hari dia akan kehilanganku. Ibu mempersiapkan dirinya jauh-jauh hari sebelum takdir itu datang. Ibu tidak ingin kehilangan tapi dirinya paham bahwa hal itu tidaklah mungkin. Aku mengerti apa yang dikatakan bibi bau matahari akhirnya.

Aku takjub akan ketabahan ibu, akan kesabaran dan kegigihannya melawan kenyataan. Hati ibu yang cuma sekepal mendadak lebih lapang dari langit.

Aku merindukan ibu. Aku merindukannya melebihi rinduku akan masa depan. Tapi ibu sudah tiada dan penyesalan memang selalu datang dari belakang. Aku merindukan ibu, ketika jalan-jalan tersendat dan bau kambing begitu menyengat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar