Jumat, 18 November 2011

.... dan kita bukan dua orang tolol

Dia bertanya sampai kapan aku akan mengenakan celana jeans, berkaos, berambut gondrong, brewokan dan yang paling klise, kapan aku berhenti merokok. Dia baru saja pulang, melempar tas jinjing LV 6 jutanya ke sova dan ikut ambruk setelahnya. Seperti biasa aku tak menjawab, alih – alih untuk menggubrispun tidak. Tapi aku juga tak berniat apalagi sampai berfikir untuk mengelak, karena seperti biasa aku hanya akan menatapnya dan tersenyum. Sudah sepuluh tahun lebih pertanyaan itu hadir dan selalu dengan skema yang sama. Jeans, kaos, rambut gondrong, brewok dan rokok. Susunannya tak pernah berubah dan sebelum kalimat yang tidak pernah berubah berikutnya keluar karena kembali hanya menemukan aku yang memandangi wajahnya dan tersenyum, aku cepat – cepat memotongnya.

“ kalo kamu ga ikutin mau aku. Aku bakalan pergi ninggalin kamu “

Mata kami bertemu dan dia tak mampu menahan.

“ dasar keras kepala. ga pernah mau dengerin apa kata aku dan skarang malah bisanya cuma ngejek “

“ aku bener – bener bakal ninggalin kamu “

Aku berusaha menahan senyumku berikutnya, merubahnya dengan aksi “ehem – ehem“ demi menyembunyikan kenyataan menggelitik karena kalimat terakhirnya juga sama banyaknya diucapkan dengan pertanyaan - pertanyaan dan ancaman yang diberikannya perihal semua hal yang tak pernah tulus diterimanya. Tapi kenyataannya dia selalu pulang. Lebih cepat dihari senin, rabu, jumat dan selalu terlambat dihari – hari selain hari – hari itu. Tapi sekali lagi dia selalu pulang. pulang dengan membawa aroma yang paling sensitif untuk aku baui, Membawa raut simpati yang selalu aku senangi dan tentu saja pribadi terdekat yang dengan biasa – biasa saja kujadikan sasaran untuk mencemplungkan diri dengan seribu satu ide dan cerita.

Nyamuk jagoan dan 200 ekor cakcakcak


Sedetik kami diam. Saling diam lebih tepatnya. Sedetik lagi kami hanya saling menatap. Bertatapan kurang lebih. Sedetik kemudian mulut terbuka hendak mengucapkan sesuatu. Sama – sama hendak mengucapkan seuatu lebih tepatnya. Sedetik kemudian kami hanya mampu saling menatap, diam dan tersenyum. Saling diam, saling tatap, saling senyum tanpa kata, tanpa bahasa tanpa apapun selain diam, tatapan dan senyuman. Detik – kedetik. Detik kemenit.

Lama aku diam. Begitu juga dia. Kami hening tanpa suara dilatari awan yang berarak membawa gemuruh sebagai tanda langit akan segera mencucurkan hujan. Bibir terkunci rapat hanya mata yang kuat menghujam. Kami saling menatap, tajam dan seperti tak lagi menangkap objek lain selain bola mata kami masing – masing. Langit sudah mendung. titik – titik airpun jatuh pelan – pelan dikening, menetes pada masing - masing senyum yang mengembang.

Aku tahu ada isyarat, ada padaku juga ada padanya. Deretan nada – nada minor membuka rentetan kata – kata kecil, kalimat – kalimat biasa juga paragraf – paragraf sederhana menuju cerita besar, tidak biasa juga istimewa. Aku percaya dan yakin sungguh, betapa hal – hal sederhana yang tak terencana dengan baik akan jauh lebih menarik dari pada sebuah rencana besar yang masterplan-nya digambar diatas millimeter block dan pastinya terutkan dengan rapi sehingga dengan asumsi sederhana itu artinya isyarat kami memutarkan tiap – tiap rol film dengan gambar – gambar dari peran yang berbeda namun sama – sama memiliki tema besar; ketertarikan.