Rabu, 20 April 2011

yang jatuh dan terhempas dari mata (hati) malaikat

Apa benar akan selalu datang pengampunan setelah kita mampu memaafkan ? jawabannya tanyakan pada angin yang menabur pasir dibibir pantai. Apa benar akan selalu datang maaf setelah semua salah mampu diampuni? jawabannya tanyakan paada buih air laut yang diterbangkan angin.

---

Anak laki – laki itu sudah menungguku diujung jalan sana. Menyeduh dua cangkir kopi seperti biasa untuk menemani kami bercerita. Anak laki – laki itu gagah, tinggi—tegap, berkulit coklat dan semua itu membuatnya terlihat pemberani. Aku menyukai anak laki – laki itu, aku menyukainya yang jatuh hati pada gunung, pada lembah, pada hutan, pada pantai, pada laut, pada ombak dan pada semuanya yang mendatangkan padanya kesunyian. Anak laki – laki itu selalu mampu menggambarkan padaku sepi yang membahagiakan, dirinya seperti berbicara dari hati ke hati tanpa harus sedikitpun pilihan berhati – hati. Aku merasa membutuhkannya untuk bernafas lega, berlindung dari dunia yang sering bersikap sebagai pengasingan karena nafas kami berpaut dan mampu saling menghangatkan.

Satu belokan lagi aku akan menemukannya, duduk seperti biasa dibagian pojok coffee shop sederhana yang menghadap ke empat mata jalan. Bagiku sendiri coffee shop itu kadang tak ubahnya seperti tempat persembunyian, perapian terbaik untuk menghangatkan diri dari badai kehidupan yang sering datang tak mengenal musim. Disetengah meja yang menempel didinding dan hanya bisa diisi dua orang tersebut mesra dirinya menunggu, terbayang jelas raut wajah yang tak henti menghujani hati dengan kerinduan, menimbun rasa ingin berpelukan dan berkasih – kasihan. Aku tak sabar ingin segera bertemu anak laki – laki itu.



“ bagaimana hari ini ? apa pria – pria tua, botak dan tidak berdaya itu memberikan banyak tip ? “
Dirga membuka malam kami dengan pertanyaan usang yang diakhiri kekehan. Aku ikut tertawa sembari meraih poci kopi dan menuangkannya digelas perawan yang berada tepat dihadapanku.

“ laki – laki itu punya enam perusahan tekstil di tersebar dibeberapa kota besar di pulau jawa. Dia bilang dia laki – laki baik – baik dari latar belakang kelurga bangsawan di jawa tengah, taat beribadah dan tidak pernah jajan diluar sebelumnya. “ aku meneguk cangkir bernoda kopi lalu membiarkannya menggantung diantara “ dia mencoba merayuku “

Tawa Dirga meledak “ si botak itu gak tahu kalo apa yang ada didalam kepalanya sudah dihafal olehmu “

Aku ikut tertawa dan kembali meletakkan cangkir diatas meja “ dia memintaku untuk menemaninya minum dan mendengarkannya bercerita tentang perusahan - perusahannya yang sedang bermasalah karena terkena penertiban pajak, tentang anaknya perempuannya yang sebentar lagi mendapatkan gelar doctoral dan tentang istrinya yang sedang stroke.   Tapi semua itu cuma pintu, semua itu cuma jalan menuju apa yang sebenarnya diinginkan. Aku benar – benar tidak bersimpati dengan orang seperti itu. “ Gema menatap lurus kearahku, mata kami berpaut “ baik dan buruk memiliki sisinya masing – masing, keduanya tidak bisa dicampur adukan “

Dirga menghela nafas panjang lalu kembali berkomentar “ penjahat yang budiman adalah penjahat yang menyadari apa yang dilakukannya adalah kejahatan dan tidak menjadikan kebaikan sebagai tameng. Bukan begitu ? “

Tawa kami meledak, bunyinya menggema di seantero ruang yang sudah hening sejak beberapa jam yang lalu. Lampu kami terus menyala untuk menaungi kami bertukar cerita. Kadang aku berfikir, bagaimana bisa dia menerima keadaanku dengan sebegitu terbuka. Dia tak pernah mengugat, dia tak penah menolak, dia tak pernah menghakimi, dia hanya terus menerima. Aku merasa tak pernah melahirkan Sidharta Gautama, tapi makna hidup sebagai derita lahir dan membumi dalam darahnya, dalam nafasnya. Dirgapun tak pernah bertanya siapa dan dimana ibu bapaknya, bagimana hidup adalah tentang hari esok bukan kemarin. Aku tersenyum dalam mata malaikat.Kupercepat langkahku melewati simpangan dan mendorong pegangan pintu yang begitu akrab. Mataku langsung tertuju kesatu titik, tapi dia tak berada disana.

“ Mas Dirga pindah di sofa dibalik tembok mbak “
Pelayan yang mengenaliku dan memahami ekspresiku langsung menunjuk kearah bagian yang tersekat dengan setengah dinding. Sebuah kejutan sedang menanti disana,  desisku. Aku melangkah maju.

“ Sampai kapan akan terus begini ? “

“ sampai waktu yang ditentukan …  “

“ kapan waktu yang ditentukan itu ? “

Aku tak butuh firasat untuk menebak – nebak apa yang akan terjadi, aku hanya punya rindu yang butuh tempat untuk dilampiaskan tapi aku tak menemukan matanya melainkan mata asing yang tidak aku kenal, apalagi aku harapkan.

“ ibu… “

Tiba – tiba aku merasa terpojok dan ingin melangkah mundur. Aku selalu membenci segala yang kaku dan terkesan normative. Kapan dia belajar memanggilu dengan sebutan ibu ? siapa yang mengajarinya ?

“ ibu ini Maria. Maria ini ibu “ anak laki - laki penyepi dan tak kenal basa - basi itu tiba – tiba berubah begitu formal dengan senyum yang begitu palsu.  Dia ingin terlihat baik dimata perempuan maria.

Aku menerima tangan anak perempuan itu dan berusaha bersikap ramah. Aku berada ditengah – tengah mereka, duduk meguasai satu sova dan merea menguasai masing – msanig satu sova disamping – samping. Aku tahu mereka baru saja berkenalan, entah kapan tapi siap mereka malu – malu dan hanya saling bertatap – tatapan. Mata mereka berpautan dan aku menatap lurus ketembok.

“ aku berkenalan dengan maria ketika bersama teman – teman menolongnya dan timnya yang terjebak di medan lumpur jalur pendakian binaya. Maria tak sadarkan diri selama hampir 24 jam, aku menungguinya hingga sadar diperkampungan warga “

Maria tersenyum memandang mata Dirga, si mata malaikat.

“ aku bercerita banyak tentang ibu padanya, tentang ibu yang telah membesaran saya dan menjadi – satu – satunya teman bicara saya, tentang ibu yang menjadi ayah sekaligus ibu untuk aku yang seperti tiba – tiba jatuh dari langit atau keluar dari tanah seperti pohon karena tak punya orang tua. “ Dirga menatap Maria dan tersenyum “ Maria ingin bertemu ibu sebelum kami melanjutan ekspedisi ke Jayawijaya, maka itu aku aku membawanya pulang bersamaku “

Waktu telah habis, semua yang aku takutan tapi tak sedikitpun ingin aku bayangkan akhirnya terjadi. Aku tersenyum sambil terus berlindung dibalik bayang – bayang lampu gantung yang menjadi latar. Dirga, anak laki – laki yang tidak pernah kusebut sebagai anakku itu akhirnya memanggilku dengan sebutan ibu untuk sebuah tuntutan formalitas, untuk sebuah nama bahkan untuk aku seorang pelacur yang menjadikannya haram untuk mengetahui asal usul dirinya sebenarnnya.

Bayang wajah Bayu seketika melintas, laki – laki yang 22 tahun lalu telah memaksaku untuk tidak menggugurkan kandunganku dan berjanji akan bertanggung jawab atas perbuatannya. Tapi hingga bayi itu lahir, dia tak pernah datang memenuhi janjinya.

“ kamu membesarkannya, hidup dengannya tanpa memberitahu dirimu adalah ibunya ? “

“ aku memberitahu dia pekerjaanku adalah melacur “

“ aku selalu tidak mengerti jalan pikirmu “

Bagiku tidak akan pernah ada “mengerti” selain keinginan untuk sebaik – baiknya memberi yang terbaik dan aku telah melindunginya, menjadikannya bebas tanpa perlu menanggung dosa siapapun. Aku merasa telah menemukan jawaban atas Bayu yang bertanya kapan waktu itu akan tiba.

“Ketika waktu tidak lagi memihak dan aku tidak memiliki cukup kesempatan untuk menjelaskan apa – apa. Waktunya itu telah tiba “ desisiku.

Aku memandang Dirga yang tersenyum dan memberikan peluk perpisahan. Aku adalah lidah api yang tak terbendung untuk membakar apapun yang melintas dihadapanu dan dirinya adalah sebaik – baiknya pemadam yang mampu menenangkan. Aku tanpanya adalah mustahil, aku tanpanya adalah nol. Aku adalah tiada tanpa adanya dirinya.
Dirga berlalu meninggalakan aku yang masih terduduk dan menuadari sendiri sebagai sakit

“Maaf, aku kehilanganmu nak. Aku merasa kehilangan mata hati malaikat tempatku pulang dan merasa bisa diterima “
Bayu bilang Dirga akan terbang meninggalkanku dan tidak akan pernah pulang lagi bila aku tidak menahannya dengan mengaku sebagai ibunya. Aku ingin memberi satu senyum sebelum air mata tak lagi mampuku bendung

“ Terbanglah dengan sayap keemasanmu tanpa perlu ingatan apa – apa yang membayangi langit megahmu “

Jujur bagiku adalah memberi yang terbaik tanpa perlu mengikat apa – apa padanya yang memiliki jalannya sendiri – sendiri. Dirga adalah anak laki – laki yang telah kupilih menjadi teman bukan anak dan untuk itu aku meraasa telah wajar dan patut bersemangat melepas perginya tanpa takut lagi kehilangan apa. Disana pengampunan, disana pula maaf bersemayam. Aku tetap aku, tanpa perlu berubah menjadi apa – apa.
---
Ambon 21 April 2011. 04.15am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar