Senin, 04 Juni 2012

Panggung Hujan


Benarkah hujan adalah parade air mata sekelompok orang yang mendiami sebuah kota bernama kesedihan? Atau benarkah hujan adalah kebahagiaan seorang putri cantik rupawan yang bila semakin bahagia akan semakin berairmata? Seorang penyair bersajak bahwa hujan adalah semata air yang bergerak vertikal, dari atas ke bawah lalu penyair lain menyebut juni sebagai hujan. Aku lebih menerima yang terakhir. Hujan versi penyair ke dua; hujan dan bulan juni.

Bila benar hujan adalah air mata orang-orang yang mendiami kota bernama kesedihan, pastilah sudah lunas rasa keingin tahuanku sejak kecil  perihal hujan. Aku selalu bertanya mengapa ibu selalu melarangku bermain hujan. Aku pernah berpikir bahwa hujan adalah monster besar dengan wajah yang sangat buruk dan mata yang bernanah. Berjam-jam aku duduk di mengencani daun jendela ketika hujan turun, sembari terus bersiaga untuk bisa segera menutup jendela bila ternyata benar hujan adalah monster mengerikan seperti yang aku bayangkan. Hingga aku dibangunkan sinar matahari karena tertidur di jendela, aku tidak bisa membuktikan apa yang aku bayangkan. Aku lalu berhenti menganggap hujan sebagai monster dengan mata bernanah.

Mengapa ibu melarangku bermain hujan? Tanyaku pada ibu. Aku tidak pernah bertanya apa-apa tentang apa-apa kepada ibu termasuk tentang hujan, tapi kali itu aku memberanikan diri. Ibu tersenyum dan menjawabku pelan. Kamu akan sakit bila bermain hujan, kata ibu. Aku terdiam mengamati wajah ibuku lama lalu memutuskan untuk tidak lagi bertanya. Ibu teramat sangat mencintaiku, maka begitu dia tak mau menginginkan aku sakit, pikirku.