Jumat, 26 Oktober 2012

KAMBING-KAMBING IBU


Ibu mencintaiku. Katanya cintanya padaku melebihi cintanya kepada kambing-kambingnya. Tapi aku tidak percaya, aku selalu merasa ibu lebih mencintai kambing-kambing peliharannya daripada mencintaiku yang jelas-jelas adalah anaknya. Perasaan memang selalu lebih kuat ketimbang akal sehat tapi sebaliknya perasaanlah yang lebih sering melakukan kesalahan ketimbang akal sehat. Aku memiliki sebuah kesalahan karena perasaan, kesalahan yang membuatku selalu merasa buruk dimata rinduku kepada ibu.

Aku tak tahu benar kapan pertama kali ibu punya kambing dan dengan berapa ekor kambing dirinya mulai membaktikan diri kepada hewan yang terkenal bau karena takut air tersebut. Ketika aku umur 5 tahun, aku sudah mendapati halaman belakang kami yang luas penuh dengan kambing. Ibu bilang dia membeli beberapa ekor kambing ketika ayah meninggal. Aku tidak sepenuhnya percaya dengan cerita itu, sebab aku merasa ibu telah hidup beratus-ratus tahun dengan kambing-kambing peliharannya hingga memiliki rasa sayang yang lebih sering kuanggap sebagai bentuk ketidakadilannya kemudian. Tapi bahwa adapun cerita itu benar adanya, entang berapa jumlah yang dibelinya pertama kali ibu tidak pernah menceritakannya.

Jumat, 27 Juli 2012

#CerpenPeterpan: Surat Kepada Maria


Di penghujung tahun, waktu akan terasa lambat di Victoria Park. Sepanjang Losari yang biasanya ramai akan mendadak sepi karena ditinggal tutup cafe-cafe tenda yang tidak mampu menolak ombak yang pecah di talud lalu muntah ke jalan. Laut pasang dan hujan yang menolak reda adalah kemanisan yang selalu minta ditangisi lebih dalam.

Bagaimana langit bisa dalam cuaca yang mendung langit menyemburkan gincu merah ketika pagi dan petang? Victoria Park punya jawaban yang tidak bisa disangkal, satu dari sekelumit alasan yang membuat Aluta selalu kembali ke sana sepanjang hari di bulan desember.

Waktu bisa berhenti berputar, tapi tidak kenangan.

“Bapak saya pejuang, mati dan mungkin dikubur di sana” Aluta menunjuk tanah lapang di bagian barat Victoria Park, tepat di bawah benteng.

“Kamu mungkin butuh teh untuk menghangatkan badan. Ibuku berjualan di sana” anak laki-laki yang diajak Aluta bicara menunjuk pondok kecil di sisi kiri jalan “saya bisa pesankan untukmu asal kamu beri saya persenan” tambahnya.

“Kapan ada kereta datang?” Tanya Aluta

Anak laki-laki yang ditanyai Aluta merogoh sapu dari dalam tasnya dan menyapu genangan air di bangku taman “sebentar lagi senja, tapi cuaca sedang kacau balau” jawab si anak laki-laki sambil menatap lurus ke Aluta yang sudah berjongkok di sampingnya sambil menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan.

Senin, 04 Juni 2012

Panggung Hujan


Benarkah hujan adalah parade air mata sekelompok orang yang mendiami sebuah kota bernama kesedihan? Atau benarkah hujan adalah kebahagiaan seorang putri cantik rupawan yang bila semakin bahagia akan semakin berairmata? Seorang penyair bersajak bahwa hujan adalah semata air yang bergerak vertikal, dari atas ke bawah lalu penyair lain menyebut juni sebagai hujan. Aku lebih menerima yang terakhir. Hujan versi penyair ke dua; hujan dan bulan juni.

Bila benar hujan adalah air mata orang-orang yang mendiami kota bernama kesedihan, pastilah sudah lunas rasa keingin tahuanku sejak kecil  perihal hujan. Aku selalu bertanya mengapa ibu selalu melarangku bermain hujan. Aku pernah berpikir bahwa hujan adalah monster besar dengan wajah yang sangat buruk dan mata yang bernanah. Berjam-jam aku duduk di mengencani daun jendela ketika hujan turun, sembari terus bersiaga untuk bisa segera menutup jendela bila ternyata benar hujan adalah monster mengerikan seperti yang aku bayangkan. Hingga aku dibangunkan sinar matahari karena tertidur di jendela, aku tidak bisa membuktikan apa yang aku bayangkan. Aku lalu berhenti menganggap hujan sebagai monster dengan mata bernanah.

Mengapa ibu melarangku bermain hujan? Tanyaku pada ibu. Aku tidak pernah bertanya apa-apa tentang apa-apa kepada ibu termasuk tentang hujan, tapi kali itu aku memberanikan diri. Ibu tersenyum dan menjawabku pelan. Kamu akan sakit bila bermain hujan, kata ibu. Aku terdiam mengamati wajah ibuku lama lalu memutuskan untuk tidak lagi bertanya. Ibu teramat sangat mencintaiku, maka begitu dia tak mau menginginkan aku sakit, pikirku.