Kamis, 25 April 2013

BAYANGANKU TERTINGGAL SAAT KAMU TERTIDUR PULAS.


Sayangku …

Aku sedang memandang lukisan no 29 yang sengaja kupajang di sebuah jendela baru, lukisan yang didominasi warna merah, lalu hitam, lalu merah hitam, kuning, putih dan hijau itu diberi judul oleh pemiliknya cinta seorang penyair. Aku tidak mengerti benar mengapa aku bisa menyukai lukisan itu, gambarnya absurd, pemahamanku yang terbatas hanya mampu membaca lukisan itu sebagai seseorang (mungkin perempuan) yang sedang berkuda dan memegangi hati di dalam dadanya. Aku menemukan sebuah kesulitan yang sedang dihadapi tokoh dalam lukisan itu, sebuah kesulitan yang hingga akhir paragraf ini ditulis tidak kutemukan kalimat yang tepat untuk mengungkapkannya.

Lalu aku mencari-cari sebab, mencari-cari celah agar bila setelah kugambarkan untukmu lukisan tersebut dan kamu bertanya perihal mengapa aku menyukainya, kamu bisa lekas kuberi jawaban. Ada beberapa kemungkinan; pertama, aku mungkin menyukai lukisan tersebut karena didominasi warna merah dan kamu tentu tahu bahwa merah dengan sedikit hitam adalah favoritku. Kedua, aku mungkin menyukai lukisan tersebut karena gambarnya absurd sehingga tidak kumengerti. Aku merasa gambar tersebut menaikan derajat seleraku dari seorang penyuka gambar gunung yang dibentuk oleh komposisi 2 segitga sama kaki dengan puncak yang tidak runcing dan matahari yang memiliki mata, hidung mulut yang dibuat sumringah melengkungkan senyum mengisi ceruk diantara kedua segitiga yang biasa ditemukan di taman kanak-kanak menjadi selera dewasa yang menyukai ketidakjelasan. Adanya ketidakjelasan dalam hidup seorang dewasa memang menjadi sesuatu yang memabukan, selalu dinanti-nanti dan bisa mengakibatkan sebuah ciuman panjang. Ketiga, aku mungkin menyukai lukisan tersebut karena judulnya. Ada perasaan sentimental yang lahir sebagai akumulasi dari dua kemungkinan sebelumnya ketika aku menemukan judul seperti terbilang di  atas pada kaki jendelanya. Aku seseorang yang sentimental katamu, maka begitu kemungkinan ini kurasa sebagai kemungkinan paling layak untuk kukirim padamu nanti. Itulah tiga kemungkinan yang kutemukan, sebab dan celah yang kucari-cari. Dari tiga kemungkinan di atas, sungguh aku punya sebuah kemungkinan lain yang tidak kucari-cari sebab dan celahnya. Aku menyebutnya emungkinan keempat. Kemungkinan betapa aku menyukai lukisan tersebut karena dialah yang menemaniku menunggu telponmu. Inilah kemungkinan paling jujur, paling benar dan paling tidak perlu kujelaskn karena kamu tahu betapa aku selalu rindu padamu.


Tiba-tiba telponku berbunyi, aku menutup jendela, lukisan itu hilang dengan sendirinya. Senyumku mekar, pipiku mengembang seperti anak-anak yang memaikan putting susu ibunya. Kamu memanggil, panggilan langsung jarak jauh sekali.

“ Hallo … “

Aku tahu senyummu juga mekar, pipimu pun mengembang seperti halnya pipiku ketika mendengar suaraku.

“ Hallo Sayang … “

Malam tiba-tiba terang benderang, dindingnya dipenuhi kertas dekorasi warna warni yang tidak pernah lupa disertakan pada setiap pesta ulang tahun ketika masih SMP, ketika masih ada aneka ria safari dan album minggu kita adalah tontonan wajib yang dosa bila dilewatkan.  Aku baru mengucap hallo dan kamu membalasnya dengan menambahkan kata sayang, bila langit runtuh dan tanah terbelah saat itu, aku mungkin tak akan peduli.

“ Sedang apa kamu?”

Aku tahu itu adalah sebuah basa-basi, lebih tua umurnya dari peribahasa manapun yang pernah diciptakan pemikir manapun. Sungguh kamu tahu apa yang sedang aku lakukan, karena apapun itu, semuanya pasti kulakukan sambil memikirkanmu.

“ Aku sedang duduk. Kamu?”

Ada kata-kata yang tidak berhasil tergelincir.

Iya! Kata-kata yang tidak lahir padahal ingin sekali diucapkan. Aku ingin menambahkan setelah kata duduk kalimat; … sambil membayangkan aku berada di sampingmu dan tidak perlu bicara melalui sambungan langsung jarak jauh sekali ini,

Tawamu pecah, lalu aku tidak kecewa, aku tahu kamu mengetahui keberadaan kalimat yang tidak sempat lahir itu. Aku memang bukan seseorang yang pandai menyembunyikan perasaan, meski kamu lebih menyukai sesuatu yang bisa membuatmu penasaran, aku sungguh ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan tanpa dramatisasi apa-apa kecuali perasaan cinta itu sendiri. 

“ Aku baru selesai belajar 35 kanji, besok ujian.”

Aku diam. Aku tahu bukan itu ujung kalimat yang akan kamu beri, aku menunggu, mememilih mendengar desah nafasmu yang rasanya begitu dekat dengan telingaku. Aku tidak tahu banyak tentang kanji, huruf jepang yang katanya saking banyak jumlahnya, tidak semua orang jepang mampu khatam padanya.

“ Temani aku sampai ketiduran, Sayang.”

Oh … langit kemudian runtuh, bumi kemudian terbelah, keduanya baru akan kembali pulih setelah burung-burung bubar dari kubah mesjid karena tersengat suara pengeras suara yang  berbunyi wing …. wing … setiap kali dinyalakan. 

“ Iya, Sayang.” jawabku.

Rasanya aku memang tak punya jawaban lain selain iya, selain menyerahkan bulat-bulat tubuhku untuk kamu lumat. Dalam episode sebuah perasaan yang terbangun setelah melintasi ribuan jarak, tanpa punya tatap dan sentuhan, aku rasa pasrah adalah pilihan yang tepat.

Seperti malam-malam sebelumnya, aku menceritakan untukmu apa-apa yang kuketahui dan kamu menceritakan untukku apa-apa yang kamu gemari. Entah sudah berapa malam, entah sudah berapa banyak waktu yang telah habis untuk bercerita, entah …. rasanya selalu seperti baru kemarin, baru sejam lalu. malam setiap hari datang seperti anak kecil yang merayakan tahun baru dengan baju baru, lalu bunyi jam dinding terdengar seperti pengantar tidur yang menjerit i love you for sentimental reasons[1]. Malam dan bunyi jam dinding dalam sambungan jarak jauh sekali ini tidak pernah tampil kumal dan terdengar membosankan.

***
Ketika malam sudah pulas tertidur di bangku taman, saat ketika embun mulai menampakan diri di pucuk-pucuk daun dan rerumputan, saat itulah kiranya hanya kudengar desah nafasmu. Desah nafas yang kubayangkan sebagai angin lembah yang bertiup menggetarkan laut, desah nafas yang kubayangkan sebagai angin perbukitan yang merapikan awan untuk menerima kembali pulangnya matahari. Desah nafas yang setia, tak berubah-ubah  seperti langit dan cuaca.

Beda waktu membuat pagi di kotamu lebih lekas datang, sebab mengapa di pelukmu malam lebih lekas cair. Aku merasa bersyukur telah diberi lebih banyak malam untuk menekuni pulas tidurmu, lalu kamu diberi lebih banyak waktu untuk mengumpulkan suara burung-burung untuk dikirimkan ke kotaku, tempat dimana kasurku tergeletak dan tubuhku menimpanya. Kadang aku bermimpi menjadi penjaga pos ronda yang terbangun karena kicau burung-burung setelah setia menunggui tiang listrik dipukul.

Seperti sebuah sajak -- aku tak tidur padahal ngantuk, tak makan
padahal lapar, tak minum padahal haus[2] --  sambungan langsung jarak jauh sekali ini membuat tidurku tercukupi dengan tidurmu, sedang pikiranku mengembara menembus laut-laut untuk berjumpa denganmu demi menuntaskan lapar dan haus dalam satu komposisi peluk diam.

Sayang …

Ketahuilah, bila tanganku nakal seperti doa[3], maka lekas bertemu denganmu adalah satu dari beberapa yang kutulis dengan huruf tebal di depan pintu rumah semua tuhan. Bisakah dua orang asing saling mencintai karena desah nafas masing-masing? Aku tak mau menjawab, tapi aku sedang merasakannya.

“ Kamu belum tidur sayang?”

“ Belum … “

Lalu aku tahu kamu akan berdiri di depan jendela, menyibak tirai dan mencium biru langit.

“ Kamu mewarnai langit lagi?”

“ Iya. Seperti biasa saat kamu tidur”

Lalu aku tiba-tiba kebingungan, tiba-tiba mencari-cari bayangan diriku.

“ Terima kasih untuk sudah menemaniku hingga tertidur, juga untuk langit biru, juga untuk bayangan tubuhmu yang tertinggal di kamarku.

Lalu kamu terkekeh.

“ Aku sedang memeluknya.”

Jendelaku kembali terbuka, lukisan no 29 yang tadi menemaniku telah berubah, perempuan berkuda yang memegangi hati telah berubah memegangi sepotong bayangan, bayanganku.

Setengah ngantuk aku berkata.

” Peluk terus, jangan dilepas. Peluk terus sampai tiba nanti malam dan aku kembali mengendap-ngendap di bibir ranjangmu untuk mencium bibirmu.”

“ Tidur sayang … Jakarta sudah pagi.” katamu.(*)








[1] Nat King Cole – I Love You for Sentimental Reasons
[2] Zikir – Acep Zamzam Noor
[3] Sajak Nakal – Acep Zamzam Noor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar