Sayangku …
Aku sedang memandang lukisan no 29 yang sengaja kupajang di sebuah
jendela baru, lukisan yang didominasi warna merah, lalu hitam, lalu merah
hitam, kuning, putih dan hijau itu diberi judul oleh pemiliknya cinta seorang
penyair. Aku tidak mengerti benar mengapa aku bisa menyukai lukisan itu,
gambarnya absurd, pemahamanku yang terbatas hanya mampu membaca lukisan itu
sebagai seseorang (mungkin perempuan) yang sedang berkuda dan memegangi hati di
dalam dadanya. Aku menemukan sebuah kesulitan yang sedang dihadapi tokoh dalam
lukisan itu, sebuah kesulitan yang hingga akhir paragraf ini ditulis tidak
kutemukan kalimat yang tepat untuk mengungkapkannya.
Lalu aku mencari-cari sebab, mencari-cari celah agar bila
setelah kugambarkan untukmu lukisan tersebut dan kamu bertanya perihal mengapa
aku menyukainya, kamu bisa lekas kuberi jawaban. Ada beberapa kemungkinan;
pertama, aku mungkin menyukai lukisan tersebut karena didominasi warna merah
dan kamu tentu tahu bahwa merah dengan sedikit hitam adalah favoritku. Kedua,
aku mungkin menyukai lukisan tersebut karena gambarnya absurd sehingga tidak
kumengerti. Aku merasa gambar tersebut menaikan derajat seleraku dari seorang
penyuka gambar gunung yang dibentuk oleh komposisi 2 segitga sama kaki dengan
puncak yang tidak runcing dan matahari yang memiliki mata, hidung mulut yang
dibuat sumringah melengkungkan senyum mengisi ceruk diantara kedua segitiga
yang biasa ditemukan di taman kanak-kanak menjadi selera dewasa yang menyukai
ketidakjelasan. Adanya ketidakjelasan dalam hidup seorang dewasa memang menjadi
sesuatu yang memabukan, selalu dinanti-nanti dan bisa mengakibatkan sebuah
ciuman panjang. Ketiga, aku mungkin menyukai lukisan tersebut karena judulnya.
Ada perasaan sentimental yang lahir sebagai akumulasi dari dua kemungkinan
sebelumnya ketika aku menemukan judul seperti terbilang di atas pada kaki jendelanya. Aku
seseorang yang sentimental katamu, maka begitu kemungkinan ini kurasa sebagai
kemungkinan paling layak untuk kukirim padamu nanti. Itulah tiga kemungkinan
yang kutemukan, sebab dan celah yang kucari-cari. Dari tiga kemungkinan di
atas, sungguh aku punya sebuah kemungkinan lain yang tidak kucari-cari sebab
dan celahnya. Aku menyebutnya emungkinan keempat. Kemungkinan betapa aku
menyukai lukisan tersebut karena dialah yang menemaniku menunggu telponmu.
Inilah kemungkinan paling jujur, paling benar dan paling tidak perlu kujelaskn
karena kamu tahu betapa aku selalu rindu padamu.
Tiba-tiba telponku berbunyi, aku menutup jendela, lukisan
itu hilang dengan sendirinya. Senyumku mekar, pipiku mengembang seperti
anak-anak yang memaikan putting susu ibunya. Kamu memanggil, panggilan langsung
jarak jauh sekali.
“ Hallo … “
Aku tahu senyummu juga mekar, pipimu pun mengembang seperti
halnya pipiku ketika mendengar suaraku.
“ Hallo Sayang … “
Malam tiba-tiba terang benderang, dindingnya dipenuhi kertas
dekorasi warna warni yang tidak pernah lupa disertakan pada setiap pesta ulang
tahun ketika masih SMP, ketika masih ada aneka ria safari dan album minggu kita
adalah tontonan wajib yang dosa bila dilewatkan. Aku baru mengucap hallo
dan kamu membalasnya dengan menambahkan kata sayang, bila langit runtuh dan tanah terbelah saat itu, aku mungkin
tak akan peduli.
“ Sedang apa kamu?”
Aku tahu itu adalah sebuah basa-basi, lebih tua umurnya dari
peribahasa manapun yang pernah diciptakan pemikir manapun. Sungguh kamu tahu
apa yang sedang aku lakukan, karena apapun itu, semuanya pasti kulakukan sambil
memikirkanmu.
“ Aku sedang duduk. Kamu?”
Ada kata-kata yang tidak berhasil tergelincir.
Iya! Kata-kata yang tidak lahir padahal ingin sekali diucapkan.
Aku ingin menambahkan setelah kata duduk kalimat;
… sambil membayangkan aku berada di sampingmu dan tidak perlu bicara melalui sambungan
langsung jarak jauh sekali ini,
Tawamu pecah, lalu aku tidak kecewa, aku tahu kamu
mengetahui keberadaan kalimat yang tidak sempat lahir itu. Aku memang bukan
seseorang yang pandai menyembunyikan perasaan, meski kamu lebih menyukai
sesuatu yang bisa membuatmu penasaran, aku sungguh ingin mencintaimu dengan
sederhana, dengan tanpa dramatisasi apa-apa kecuali perasaan cinta itu
sendiri.
“ Aku baru selesai belajar 35 kanji, besok ujian.”
Aku diam. Aku tahu bukan itu ujung kalimat yang akan kamu
beri, aku menunggu, mememilih mendengar desah nafasmu yang rasanya begitu dekat
dengan telingaku. Aku tidak tahu banyak tentang kanji, huruf jepang yang
katanya saking banyak jumlahnya, tidak semua orang jepang mampu khatam padanya.
“ Temani aku sampai ketiduran, Sayang.”
Oh … langit kemudian runtuh, bumi kemudian terbelah,
keduanya baru akan kembali pulih setelah burung-burung bubar dari kubah mesjid
karena tersengat suara pengeras suara yang berbunyi wing …. wing
… setiap kali dinyalakan.
“ Iya, Sayang.” jawabku.
Rasanya aku memang tak punya jawaban lain selain iya, selain
menyerahkan bulat-bulat tubuhku untuk kamu lumat. Dalam episode sebuah perasaan
yang terbangun setelah melintasi ribuan jarak, tanpa punya tatap dan sentuhan, aku
rasa pasrah adalah pilihan yang tepat.
Seperti malam-malam sebelumnya, aku menceritakan untukmu
apa-apa yang kuketahui dan kamu menceritakan untukku apa-apa yang kamu gemari.
Entah sudah berapa malam, entah sudah berapa banyak waktu yang telah habis
untuk bercerita, entah …. rasanya selalu seperti baru kemarin, baru sejam lalu.
malam setiap hari datang seperti anak kecil yang merayakan tahun baru dengan
baju baru, lalu bunyi jam dinding terdengar seperti pengantar tidur yang
menjerit i love you for sentimental reasons[1].
Malam dan bunyi jam dinding dalam sambungan jarak jauh sekali ini tidak pernah tampil
kumal dan terdengar membosankan.
***
Ketika malam sudah pulas tertidur di bangku taman, saat
ketika embun mulai menampakan diri di pucuk-pucuk daun dan rerumputan, saat
itulah kiranya hanya kudengar desah nafasmu. Desah nafas yang kubayangkan
sebagai angin lembah yang bertiup menggetarkan laut, desah nafas yang kubayangkan
sebagai angin perbukitan yang merapikan awan untuk menerima kembali pulangnya
matahari. Desah nafas yang setia, tak berubah-ubah seperti langit dan cuaca.
Beda waktu membuat pagi di kotamu lebih lekas datang, sebab
mengapa di pelukmu malam lebih lekas cair. Aku merasa bersyukur telah diberi
lebih banyak malam untuk menekuni pulas tidurmu, lalu kamu diberi lebih banyak
waktu untuk mengumpulkan suara burung-burung untuk dikirimkan ke kotaku, tempat
dimana kasurku tergeletak dan tubuhku menimpanya. Kadang aku bermimpi menjadi
penjaga pos ronda yang terbangun karena kicau burung-burung setelah setia
menunggui tiang listrik dipukul.
Seperti sebuah sajak -- aku tak tidur padahal ngantuk, tak
makan
padahal
lapar, tak minum padahal haus[2]
-- sambungan langsung
jarak jauh sekali ini membuat tidurku tercukupi dengan tidurmu, sedang
pikiranku mengembara menembus laut-laut untuk berjumpa denganmu demi
menuntaskan lapar dan haus dalam satu komposisi peluk diam.
Sayang …
Ketahuilah, bila tanganku
nakal seperti doa[3], maka
lekas bertemu denganmu adalah satu dari beberapa yang kutulis dengan huruf
tebal di depan pintu rumah semua tuhan. Bisakah dua orang asing saling
mencintai karena desah nafas masing-masing? Aku tak mau menjawab, tapi aku
sedang merasakannya.
“ Kamu belum tidur sayang?”
“ Belum … “
Lalu aku tahu kamu akan berdiri di depan jendela,
menyibak tirai dan mencium biru langit.
“ Kamu mewarnai langit lagi?”
“ Iya. Seperti biasa saat kamu tidur”
Lalu aku tiba-tiba kebingungan, tiba-tiba mencari-cari
bayangan diriku.
“ Terima kasih untuk sudah menemaniku hingga tertidur,
juga untuk langit biru, juga untuk bayangan tubuhmu yang tertinggal di kamarku.
Lalu kamu terkekeh.
“ Aku sedang memeluknya.”
Jendelaku kembali terbuka, lukisan no 29 yang tadi
menemaniku telah berubah, perempuan berkuda yang memegangi hati telah berubah
memegangi sepotong bayangan, bayanganku.
Setengah ngantuk aku berkata.
” Peluk terus, jangan dilepas. Peluk terus sampai tiba
nanti malam dan aku kembali mengendap-ngendap di bibir ranjangmu untuk mencium
bibirmu.”
“ Tidur sayang … Jakarta sudah pagi.” katamu.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar