Jumat, 27 Juli 2012

#CerpenPeterpan: Surat Kepada Maria


Di penghujung tahun, waktu akan terasa lambat di Victoria Park. Sepanjang Losari yang biasanya ramai akan mendadak sepi karena ditinggal tutup cafe-cafe tenda yang tidak mampu menolak ombak yang pecah di talud lalu muntah ke jalan. Laut pasang dan hujan yang menolak reda adalah kemanisan yang selalu minta ditangisi lebih dalam.

Bagaimana langit bisa dalam cuaca yang mendung langit menyemburkan gincu merah ketika pagi dan petang? Victoria Park punya jawaban yang tidak bisa disangkal, satu dari sekelumit alasan yang membuat Aluta selalu kembali ke sana sepanjang hari di bulan desember.

Waktu bisa berhenti berputar, tapi tidak kenangan.

“Bapak saya pejuang, mati dan mungkin dikubur di sana” Aluta menunjuk tanah lapang di bagian barat Victoria Park, tepat di bawah benteng.

“Kamu mungkin butuh teh untuk menghangatkan badan. Ibuku berjualan di sana” anak laki-laki yang diajak Aluta bicara menunjuk pondok kecil di sisi kiri jalan “saya bisa pesankan untukmu asal kamu beri saya persenan” tambahnya.

“Kapan ada kereta datang?” Tanya Aluta

Anak laki-laki yang ditanyai Aluta merogoh sapu dari dalam tasnya dan menyapu genangan air di bangku taman “sebentar lagi senja, tapi cuaca sedang kacau balau” jawab si anak laki-laki sambil menatap lurus ke Aluta yang sudah berjongkok di sampingnya sambil menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan.


“ini cukup?”

“lebih dari cukup, asal tidak kau mintai kembalian” si anak laki-laki meraba kenyataan yang baru saja diterimanya “duduk disitu, saya segera kembali” lanjutnya.

Baru saja Aluta duduk, sepasang pengamen datang dan mengucapkan selamat petang padanya.

“Saya tidak memesan pengamen” kata Aluta

“Kami dikirim oleh perusahaan sebagai compliment dari teh yang anda pesan” jawab salah satu pengamen sembari mengeluarkan selembar kertas bertuliskan song list “anda bisa pilih jenis lagu apa yang anda mau” ujar si pengamen lagi kemudian.

Aluta memperhatikan daftar yang disodorkan kepadanya lalu menunjuk kolom berisi titik berganda dan 
tutup kurung setelah sebelumnya menggangguk-angguk seakan-akan baru saja memahami sesuatu. Pengamen yang tadi menyodorkan kertas tersenyum dan memberi aba-aba kepada temannya. Sedetik kemudian genjrengan gitar dan gendang dipukul bersahut-sahut mengalahkan bunyi hujan yang tersisa rintih; jatuh di rerumputan.

 ---

Terus melangkah melupakanmu

Lelah hati perhatikan sikapmu

Jalan pikiranmu buatku ragu

Tak mungkin ini tetap bertahan

Senja sudah pulang, tidak ada kereta yang datang. Dua orang pengamen menghilang seperti ditelan malam berembun yang pelan-pelan turun. Aluta tidak mengerti lagu apa yang mereka nyanyikan, sebab mengerti lriknyapun dia tidak. Sebelum hilang Aluta sempat membaca puisi yang tertulis dijidat si pengamen; Senyum adalah selimut bagi air mata, di dalamnya mata air kesedihan kerap disemayamkan.

“Pernah ada perang besar di sini. Orang-orang dari Malaka, Banten, Bugis, Button, Ternate melabuhkan kapal diantara dentuman meriam VOC. Setelah Amsterdam di Hila jatuh, kapal-kapal Belanda terdesak masuk ke teluk. Mereka merampas Victoria dari orang-orang Portugis dan mengganti namanya menjadi Neuw Victoria yang berarti kemenangan baru”

“Bapakmu mati ketika itu?” si anak laki-laki mengusap mukanya yang dibasahi titik hujan

“Tidak” Aluta menggeleng “Bapakku tidak mati ketika itu, dia selamat karena belum ditakdirkan lahir” lanjutnya.

“Lalu untuk apa kamu menceritakan itu?”

Aluta menggenggam cangkir kopinya lalu menatap tajam mata si anak “waktu telah menghapus banyak ingatan. dalam sepi kenangan bisa diundang datang kembali” kopinya tandas.

Victoria Park di bulan Desember tak ubahnya perempuan kebaya yang duduk mengurai rambut panjangnya, menghitung setiap helainya seperti menghitung setiap lembar ingatan. Jalanan lengang dengan air tergenang menolak bertemu gorong-gorong untuk kembali ke laut, lampu-lampu kuning yang dibangunkan tepat jam 6 sore dan dimatikan lagi setelah 12 jam kemudian menghadirkan nuansa bayang-bayang setengah romantis karena sisanya Victoria Park tak ubahnya diorama kesedihan yang terkubur diantara tiang-tiang kemenangan. Hati dan emosi.

Perlahan mimpi terasa mengganggu

Kucoba untuk terus menjauh

Perlahan hatiku terbelenggu

Kucoba untuk lanjutkan hidup

“Bapakku ditangkap dan digantung di sana ketika APRIS menguasai kota. Dia pengikut setia Soumokil” Aluta menatap nanar benteng berdinding putih pucat dengan latar langit hitam tidak jauh dari tempat mereka duduk. “Bapakku mencintai seorang perempuan Mardijker. Jauh sebelum RMS menguasai benteng, bapak selalu mengajak anak pelaut Portugis yang dicintainya itu untuk berkeliling sekitar benteng dan menyusuri sepanjang pesisir Honipopu demi menonton matahari yang jatuh di teluk. Kata bapak, kilau rambutnya yang bergelombang bisa meredam matahari yang keemasan”

Si anak laki-laki memperhatikan Aluta yang bercerita, memperhatikan mulut laki-laki yang mengyemburkan embun dari mulutnya seperti naga menyemburkan api.  Dieratkannya baju hangat dan selimut sembari mencari-cari bayangan ibunya di dinding pondok warung kopi yang hanya berlampu petromax.

“Apakah bapakmu sempat menikahi perempuan itu? Apa perempuan itu adalah ibumu?” si anak laki-laki berhati-hati melontarkan pertanyaan.

“Tidak. Mereka adalah keinginan dan bapakku lebih mementingkan perjuangannya. Bapakku adalah pejuang yang dianggap penjahat perang, seseorang yang gagal memenangkan keinginannya atas nama perasaannya sendiri”

“Mereka adalah keinginan. Begitu juga aku”
---

Engkau bukanlah segalaku
Bukan tempat tuk hentikan langkahku
Usai sudah semua berlalu
Biar hujan menghapus jejakmu

Sinar matahari menembus celah-celah atap yang terbangun dari rimbun pohon jambu air, cahayanya menusuk masuk ke sela-sela bulu mata. Si anak tebangun, bulan sudah januari. Berapa lama dirinya tertidur? Pertanyaan tersebut mendadak datang mengganggu kesadarannya, si anak laki-laki dengan sigap meraih tas dan mengeluarkan sapu lalu berlari menuju sudut Victoria bagian barat 

Si anak laki-laki lalu menggali sekenanya dan tiba-tiba tangannya menyentuh sebuah kotak berbahan Alumunium. Kotak seperti kotak jamu itu dikeluarkannya. Pertanyaan kedua menyerang kesadarannya, kapan kotak ini diletakan? Terakhir si anak laki-laki ingat dirinya berjalan bersama Aluta ke tempat tersebut. Aluta menggali tapi tidak menemukan apa-apa. Aluta pergi setelah itu, dia bilang dia ketinggalan kereta.

Di dalam kotak sebuah kertas tergulung rapi dan masih harum baunya. Bau bunga, si anak laki-laki tidak pernah tahu dan mau tahu perihal bau bunga maka disingkirkanlah rasa penasarannya akan bau tersebut. Kertas terbuka, ternyata sebuah surat.

Maria,

Aku telah mencintaimu sejauh ini. Aku telah berjalan juga sejauh ini. Bila besok pagi engkau mendengar letusan, mungkin aku sudah mati. Bila engkau berumur panjang dan masih memendam perasaan untukku, pergilah ke laut setiap desember dan benamkan kesedihanmu disana, waktu akan mengiburmu -- kereta akan datang membawamu pergi meninggalkan ingatan.

Aku mencintaimu, lebih dari aku mencintai diriku sendiri. Aku mencintaimu, sama seperti aku mencintai tanah ini.

Aku mencintaimu, kilaumu emas mengalahkan matahari.

Si anak laki-laki mengangkat wajahnya, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru Victoria Park. Taman tersebut sudah ramai, jalanan di sekitarnya disesaki kendaraan dan ombak masih pecah di talud. Hujan sudah pulang dan kereta tetap tidak datang.

Diraihnya gagang sapu dan mulailah tangannya bergerak. Dari luar pagar ibu si anak berteriak “nak …. kopimu yang semalam sudah dingin, ibu taruh di atap biar panas”

Si anak mengangguk. terus menyapu.

Lepaskanlah segalanya

Lepaskanlah segalanya

2 komentar:

  1. diangkat dari salah satu novel : "Perkara mengirim senja" kah, teman?

    BalasHapus
  2. bagian mana yanhg mirip? di cerita apa?

    BalasHapus