Di penghujung tahun, waktu akan terasa lambat di Victoria
Park. Sepanjang Losari yang biasanya ramai akan mendadak sepi karena ditinggal
tutup cafe-cafe tenda yang tidak mampu menolak ombak yang pecah di talud lalu muntah
ke jalan. Laut pasang dan hujan yang menolak reda adalah kemanisan yang selalu
minta ditangisi lebih dalam.
Bagaimana langit bisa dalam cuaca yang mendung langit
menyemburkan gincu merah ketika pagi dan petang? Victoria Park punya jawaban
yang tidak bisa disangkal, satu dari sekelumit alasan yang membuat Aluta selalu
kembali ke sana sepanjang hari di bulan desember.
Waktu bisa berhenti berputar, tapi tidak kenangan.
“Bapak saya pejuang, mati dan mungkin dikubur di sana” Aluta
menunjuk tanah lapang di bagian barat Victoria Park, tepat di bawah benteng.
“Kamu mungkin butuh teh untuk menghangatkan badan. Ibuku
berjualan di sana” anak laki-laki yang diajak Aluta bicara menunjuk pondok
kecil di sisi kiri jalan “saya bisa pesankan untukmu asal kamu beri saya
persenan” tambahnya.
“Kapan ada kereta datang?” Tanya Aluta
Anak laki-laki yang ditanyai Aluta merogoh sapu dari dalam
tasnya dan menyapu genangan air di bangku taman “sebentar lagi senja, tapi
cuaca sedang kacau balau” jawab si anak laki-laki sambil menatap lurus ke Aluta
yang sudah berjongkok di sampingnya sambil menyodorkan selembar uang sepuluh
ribuan.
“ini cukup?”
“lebih dari cukup, asal tidak kau mintai kembalian” si anak
laki-laki meraba kenyataan yang baru saja diterimanya “duduk disitu, saya
segera kembali” lanjutnya.
Baru saja Aluta duduk, sepasang pengamen datang dan
mengucapkan selamat petang padanya.
“Saya tidak memesan pengamen” kata Aluta
“Kami dikirim oleh perusahaan sebagai compliment dari teh yang anda pesan” jawab salah satu pengamen
sembari mengeluarkan selembar kertas bertuliskan song list “anda bisa pilih jenis lagu apa yang anda mau” ujar si
pengamen lagi kemudian.
Aluta memperhatikan daftar yang disodorkan kepadanya lalu menunjuk
kolom berisi titik berganda dan
tutup kurung setelah sebelumnya menggangguk-angguk
seakan-akan baru saja memahami sesuatu. Pengamen yang tadi menyodorkan kertas tersenyum
dan memberi aba-aba kepada temannya. Sedetik kemudian genjrengan gitar dan
gendang dipukul bersahut-sahut mengalahkan bunyi hujan yang tersisa rintih;
jatuh di rerumputan.
---
Terus melangkah melupakanmu
Lelah hati perhatikan sikapmu
Jalan pikiranmu buatku ragu
Tak mungkin ini tetap bertahan
Senja sudah
pulang, tidak ada kereta yang datang. Dua orang pengamen menghilang seperti
ditelan malam berembun yang pelan-pelan turun. Aluta tidak mengerti lagu apa
yang mereka nyanyikan, sebab mengerti lriknyapun dia tidak. Sebelum hilang
Aluta sempat membaca puisi yang tertulis dijidat si pengamen; Senyum adalah
selimut bagi air mata, di dalamnya mata air kesedihan kerap disemayamkan.
“Pernah ada perang
besar di sini. Orang-orang dari Malaka, Banten, Bugis, Button, Ternate
melabuhkan kapal diantara dentuman meriam VOC. Setelah Amsterdam di Hila jatuh,
kapal-kapal Belanda terdesak masuk ke teluk. Mereka merampas Victoria dari
orang-orang Portugis dan mengganti namanya menjadi Neuw Victoria yang berarti
kemenangan baru”
“Bapakmu mati
ketika itu?” si anak laki-laki mengusap mukanya yang dibasahi titik hujan
“Tidak” Aluta
menggeleng “Bapakku tidak mati ketika itu, dia selamat karena belum ditakdirkan
lahir” lanjutnya.
“Lalu untuk apa
kamu menceritakan itu?”
Aluta menggenggam
cangkir kopinya lalu menatap tajam mata si anak “waktu telah menghapus banyak
ingatan. dalam sepi kenangan bisa diundang datang kembali” kopinya tandas.
Victoria Park di
bulan Desember tak ubahnya perempuan kebaya yang duduk mengurai rambut
panjangnya, menghitung setiap helainya seperti menghitung setiap lembar ingatan.
Jalanan lengang dengan air tergenang menolak bertemu gorong-gorong untuk
kembali ke laut, lampu-lampu kuning yang dibangunkan tepat jam 6 sore dan
dimatikan lagi setelah 12 jam kemudian menghadirkan nuansa bayang-bayang
setengah romantis karena sisanya Victoria Park tak ubahnya diorama kesedihan
yang terkubur diantara tiang-tiang kemenangan. Hati dan emosi.
Perlahan mimpi terasa mengganggu
Kucoba untuk terus menjauh
Perlahan hatiku terbelenggu
Kucoba untuk lanjutkan hidup
“Bapakku ditangkap
dan digantung di sana ketika APRIS menguasai kota. Dia pengikut setia Soumokil”
Aluta menatap nanar benteng berdinding putih pucat dengan latar langit hitam
tidak jauh dari tempat mereka duduk. “Bapakku mencintai seorang perempuan Mardijker. Jauh sebelum RMS menguasai benteng, bapak selalu mengajak anak
pelaut Portugis yang dicintainya itu untuk berkeliling sekitar benteng dan
menyusuri sepanjang pesisir Honipopu demi menonton matahari yang jatuh di
teluk. Kata bapak, kilau rambutnya yang bergelombang bisa meredam matahari yang
keemasan”
Si anak laki-laki memperhatikan Aluta yang bercerita, memperhatikan mulut
laki-laki yang mengyemburkan embun dari mulutnya seperti naga menyemburkan api. Dieratkannya baju hangat dan selimut
sembari mencari-cari bayangan ibunya di dinding pondok warung kopi yang hanya
berlampu petromax.
“Apakah bapakmu
sempat menikahi perempuan itu? Apa perempuan itu adalah ibumu?” si anak
laki-laki berhati-hati melontarkan pertanyaan.
“Tidak. Mereka
adalah keinginan dan bapakku lebih mementingkan perjuangannya. Bapakku adalah
pejuang yang dianggap penjahat perang, seseorang yang gagal memenangkan
keinginannya atas nama perasaannya sendiri”
“Mereka adalah
keinginan. Begitu juga aku”
---
Engkau bukanlah segalaku
Bukan tempat tuk hentikan langkahku
Usai sudah semua berlalu
Biar hujan menghapus jejakmu
Sinar matahari
menembus celah-celah atap yang terbangun dari rimbun pohon jambu air, cahayanya
menusuk masuk ke sela-sela bulu mata. Si anak tebangun, bulan sudah januari. Berapa
lama dirinya tertidur? Pertanyaan tersebut mendadak datang mengganggu
kesadarannya, si anak laki-laki dengan sigap meraih tas dan mengeluarkan sapu
lalu berlari menuju sudut Victoria bagian barat
Si anak laki-laki lalu menggali sekenanya dan tiba-tiba tangannya menyentuh sebuah kotak berbahan Alumunium. Kotak seperti kotak jamu itu dikeluarkannya. Pertanyaan kedua menyerang kesadarannya, kapan kotak ini diletakan? Terakhir si anak laki-laki ingat dirinya berjalan bersama Aluta ke tempat tersebut. Aluta menggali tapi tidak menemukan apa-apa. Aluta pergi setelah itu, dia bilang dia ketinggalan kereta.
Di dalam kotak
sebuah kertas tergulung rapi dan masih harum baunya. Bau bunga, si anak laki-laki
tidak pernah tahu dan mau tahu perihal bau bunga maka disingkirkanlah rasa
penasarannya akan bau tersebut. Kertas terbuka, ternyata sebuah surat.
Maria,
Aku telah mencintaimu sejauh ini. Aku telah berjalan
juga sejauh ini. Bila besok pagi engkau mendengar letusan, mungkin aku sudah
mati. Bila engkau berumur panjang dan masih memendam perasaan untukku, pergilah
ke laut setiap desember dan benamkan kesedihanmu disana, waktu akan mengiburmu
-- kereta akan datang membawamu pergi meninggalkan ingatan.
Aku mencintaimu, lebih dari aku mencintai diriku
sendiri. Aku mencintaimu, sama seperti aku mencintai tanah ini.
Aku mencintaimu, kilaumu emas mengalahkan matahari.
Si anak laki-laki
mengangkat wajahnya, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru Victoria Park.
Taman tersebut sudah ramai, jalanan di sekitarnya disesaki kendaraan dan ombak
masih pecah di talud. Hujan sudah pulang dan kereta tetap tidak datang.
Diraihnya gagang
sapu dan mulailah tangannya bergerak. Dari luar pagar ibu si anak berteriak “nak
…. kopimu yang semalam sudah dingin, ibu taruh di atap biar panas”
Si anak mengangguk. terus menyapu.
Lepaskanlah segalanya
Lepaskanlah segalanya
diangkat dari salah satu novel : "Perkara mengirim senja" kah, teman?
BalasHapusbagian mana yanhg mirip? di cerita apa?
BalasHapus