Senin, 11 April 2011

CINTA (TAK) BUTUH AKSARA

nico wijaya | photoworks
Kadang aku berfikir untuk apa kulakukan semua ini. Aku tak mampu mengungkapkan apa – apa seperti yang dilakukan kebanyakaan orang atas nama perasaannya, akupun tak kunjung berkeinginan untuk menunjukan apa – apa layaknya seseorang yang mengharapkan hasil dari sesuatu yang dicita - citakan. Aku tahu benar bagaimana perasaanku tumbuh berkembang dari waktu ke waktu, aku sadarpula betapa cita - citaku begitu besar tapi aku tak berani menjawab perasaanku dengan pilihan, aku juga tak berani membayar cita – citaku itu dengan sebuah usaha: Aku takut.

Pernah aku berfikir tentang bagaimana ternyata waktu sudah begitu cepat sekali berlalu, berganti dari detik kemenit lalu menit ke jam lalu jam ke hari lalu hari kebulan lalu bulan ke tahun dan aku masih tetap tak beranjak, tetap dan bahkan tak sedikitpun terlintas kata cukup atau memilih pergi. Aku tetap, tetap takut dan tetap merasa tidak selesai dengan diriku sendiri dan kenyataan. Aku mencintainya dengan perasaan yang besar, memilikinya adalah cita – cita terbesarku tapi aku tetap tak sedikitpun bergerak: Aku takut.

Sering aku menyesali diri karena memelihara perasaan yang semakin hari semakin besar dan cita – cita yang seiring waktu berubah menjadi kekuatan yang kadang sulit untuk kubendung. Aku telah memelihara rasa cinta yang ragaku sendiri menyangkalinya, aku telah memelihara keinginan memiliki tanpa menimbang rasio betapa kekuranganku adalah sebesar – besarnya alasan untuk membuatku berhenti. Aku pernah hampir saja pergi tapi dia datang tepat dihadapanku dan sedikitpun aku tak dapat mengelak. Aku kembali bersembunyi dibalik dinding: cinta tak butuh aksara.

Gong’ pernahkah kau mencintai sesuatu yang lain lebih dari kau mencintai pekerjaanmu ? celetuk si babah tukang rokok tiba – tiba kepadaku. Tapi belum sempat aku bereaksi apa – apa, babah sudah mengeleng – gelengkan kepala dan tertawa, dia tahu dia tidak akan mendapatkan jawaban apa – apa dariku karena aku memang tidak akan berkata apa – apa kecuali tersenyum meski sejujurnya ingin sekali rasanya kujawab pertanyaannya itu dan keyakinanku jujur menanggapi sungguh bahwa ternyata tak semua hal akan dirasakan cukup hanya dengan senyuman.



Aku berdiri didepan kios babah tepat ketika laki – laki tua itu menurunkan layarnya. Aku datang lebih pagi dari biasanya, menunggunya dan aku tahu pasti babah yang sudah berdiri dihadapanku tahu ada sesuatu yang penting yang hendak aku sampaikan padanya.

“ ada apa gong ? apa yang membuatmu datang sepagi ini ? “

Aku mematung dan tak berekspresi apapun. Sepanjang malam aku memikirkan celetukan babah kemarin. Aku menanggapi serius celetukan tersebut sebagai sebuah pertanyaan yang sangat mendasar. Hampir lima tahun aku selalu datang pagi, bergegas dengan waktu layaknya pekerja yang mencintai pekerjaannya hingga tak ingin sedikitpun terlambat. Aku selalu sabar menjalani sepanjang hari kerja, melaksanakan tugas dengan senyum mengembang seakan – akan aku dibayar mahal untuk melakukan semua itu. Aku selalu melipat rapi seragam dan menyimpan baik perlengkapan kerja ketika pulang. aku memperlakukan barang – barang itu tak ubahnya jimat yang akan melugaskan langkahku ketempat kerja esok harinya. Aku tak ingin kehilangan seharipun untuk mengurusi seragam baru atau mencari priwitan baru, aku tak ingin kehilangan satu haripun kesempatan untuk kembali bekerja.

Pertanyaan iseng babah kemarin menyadarkan aku akan keberadaan sebuah kekuatan alam bawah sadar yang yang selama ini memotivasiku untuk bersikap layaknya seseorang yang sangat mencintai pekerjaan yang ternyata tidak demikian adanya. Aku tidak mencintai pekerjaanku, aku mencintai seseorang dan pekerjaankulah yang menjadi kunci aku bisa selalu bertemu dengannya setiap pagi, siang atau sore.

“ tulislah gong. Babah dengan senang hati membacanya.”

Cepat – cepat aku meninggalkan babah dan kembali ketempatku. Keberadaanku sesungguhnya adalah rahasia terbesar bagiku. Sebuah rahasia yang tercipta bukan karena keinginanku untuk merahasiakannya tapi karena keadaan itu sendiri. Semua orang mengira gong itu pendekan dari bagong, bagi mereka nama itu sesuai karena merepresentasikan tubuhku yang bulat, mataku yang lebar, bibirku yang tebal dan terkesan memble. Bagi banyak orang aku memang pantas diberikan nama bagong karena seperti tokoh pewayangan tersebut aku hadir untuk mengundang tawa. Padahal nama gong bagiku lebih dari sekedar nama nama tokoh anak bungsu semar dalam cerita pewayangan tersebut, gong adalah sebuah streotip yang melekat padaku hingga saat ini karena seisi kampung memanggilku dengan sapaan tersebut. Gong adalah sebuah hinaan yang adalah pendekan dari kata gong-gong. Aku tak pernah bisa melakukan hal lain ketika diejek oleh teman sebaya atau bahkan gerombolan anak kecil, aku hanya bisa menangis sesegukan dan menggonggong seperti anjing.

Aku terduduk dan berusaha berhenti menelusuri pikiranku sendiri, sungguh sesuatu yang tak akan pernah selesai bagiku. Babah orang yang sudah kuanggap sebagai orang tuakupun tak mengetahui benar keberadaanku, aku tak bisa menulis kecuali mengisi daftar kolom – kolom dengan meniru deret angka yang terpampang ketika masuk dan mencentangkannya ketika keluar.

“ sore mas bagong. Kok hari ini murung ? “

Sebuah suara tiba – tiba menubruk kepalaku, aku ambruk dan dengan sigap berbalik sembari tersenyum. Aku tahu siapa pemilik suara tersebut, aku menantinya.

“ mas bagong, saya bentar lagi lulus loh, bentar lagi sarjana. “

Aku terus tersenyum dan mengangguk – ngangguk, melambaikan tangan membalas lambaian tangan yang hilang bersama kaca yang dinaikan dan menyatu bersama arus kemacetan.

---

Sedari subuh aku menyiapkan kemeja terbaikku, menyemprotkan minyak keseragam dan menyikat sepatu agar terlihat lebih baik. aku benar – benar menyiapkan hari istimewa ini, sebuah hari yang telah kusaksikan berulang kali tapi baru benar – benar kupahami. Hari ini laras diwisuda, hari ini dia menjadi seorang dokter dan hari ini adalah hari terakhir aku menunggunya untuk memasukan namanya didalam daftar. Ya namanya bukan nomor mobilnya.

“ mas bagoooong … saya udah jadi dokter looooh “

Sebuah pelukan mendarat tepat dan aura kebahagian itu menyebar disekujur tubuhku. Aku merasakan kebahagian sekaligus kesedihan yang siap meledak. Aku tersenyum selebar – lebarnya dan mengulurkan tangan tanda selamat.

Laras akhirnya pergi dengan segerombolan orang yang tak pernah kukenali, aku menebak mungkin ada ibunya disana, mungkin ada bapaknya, mungkin ada kakak atau adiknya atau mungkin juga ada pacar atau tunangannya. Tugaskupun selesai, mobil laras telah kembali kembali menyatu di salemba raya. Aku berbalik dan tak lagi mampu menahan, aku menangis.

Aku paham kenapa hari ini diisi kebahagian, semua orang yang datang berpakaian bagus dan laras beserta banyak orang lainnyapun mengenakan pakaian yang tidak seperti biasanya, hari ini mereka pergi dan tak akan kembali lagi.

Babah berdiri tepat dihadapanku, mencegat langkahku lalu merentangkan tangannya dan memelukku erat. Aku percaya kini dia mengerti bahwa aku anak laki – laki yang dikenalnya dengan nama bagong, tukang parkir, buta huruf dan bisu telah jatuh hati pada laras, gadis manis dari keluarga terpandang, baru saja menjadi dokter dan terlahir penuh kesempurnaan walau meski tepat pada hari berakhirnya penantian dan aku belum tentu akan kembali lagi ketempat ini setelah hari ini.

“ gong’ jangan pernah kau salahkan waktu, jangan pernah kau salahkan keadaan. Tuhan menggariskan takdir masing – masing makhluknya dan memberi apa – apa yang terbaik didalamnya “

Bagiku cinta tetap tak butuh aksara 'beh. Aku hanya butuh menangis. Aku berdesis dan hatiku berhenti. –

---
Iphank dewe
Ambon 23 Desember 2010 – 06.23am
*ketika menunggu di di depan FK UI Salemba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar