Sabtu, 18 Juni 2011

DA DU


Ini adalah tentang laki – laki dan perempuan yang akhirnya memilih berbagi tempat tidur, ini adalah tentang laki – laki dan perempuan yang bersembunyi setiap malamnya dibalik satu lembar kain bernama selimut, ini adalah tentang aku dan dia, aku adalah suaminya dan dia adalah istriku. Kadang aku berfikir bagaimana mungkin aku menikah dengannya, dia pemarah, keras kepala, egois dan begitupun yang sebaliknya yang dikatakannya padaku. Istriku adalah seorang bangsawan, keturunan ninggrat dan berdarah biru. Dia juga tahu suaminya adalah seorang bangsawan, keturunan raja yang hanya tidak berdarah biru karena ditempat asalnya tak mengenal istilah tersebut. Itulah satu – satunya senjata baginya untuk merasa lebih dariku, dia darah biru dan aku bukan. Pernah sekali jarinya teriris ketika mengoceh tentang gambar yang aku buat sambil mengiris kentang. Darah yang mengucur dari jarinya tentulah berwarna merah bukan biru tapi dia tetap saja tak mau kalah. Aku juga mengoceh menyela segala rasionalisasinya, dia lupa tangannya teriris dan sibuk berdebat. Begitulah perempuan yang serlalu tertidur lebih dulu disampingku itu, begitulah istriku, begitulah yang aku tahu. Begitulah kami.


Nasib memang telah mempertemukan kami. Bagaimana tidak untuk membahas nasib, kami datang dari dua tempat yang berbeda, mengejar tujuan yang sama dan ternyata mendapatkan tempat yang berurut – urutan pada daftar nama karena nama kami dimulai dengan huruf yang sama yaitu D, aku Domi Aksara dan dia Donna Umaira. Nama kami adalah bagian yang penting dalam menentukan nasib kami, setelah berurut – urutan pada daftar masuk, ternyata kami juga berurut – urutan dikelas karena mendapatkan kelas yang sama. Kami sama – sama suka menggambar dari kecil, sama – sama termotivasi untuk menjadikan gambar sebagai cita – cita dan akhirnya menjebloskan diri di kuliah seni rupa dan desain. Dia sering mengejek namaku dengan menambahkan domi dengan no sehingga menjadi domino yang adalah salah satu jenis permainan kartu yang populer, katanya bapakku adalah keturunan raja penjudi yang menghabiskan waktu untuk bermain domino sehingga menamakanku dengan nama domi. Baginya domino adalah permainan kartu paling murahan dan tidak bergengsi tapi ketahuilah akhirnya semuanya menjadi begitu manis ketika akhirnya kami sering menghabiskan waktu untuk bermain domino bersama. Pada tahun terakhir kami kulaih, dihari ulang tahunku dia mengahadiahkan satu set kartu domino yang dibuatnya sendiri dengan menggantikan bulatan – bulatan berwarna merah seperti kebanyakan kartu domino dengan huruf – huruf yang berarti aksara. Dia akhirnya mengakui namaku memiliki arti yang istimewa, saat itu dia memang telah berhenti menjadikan namaku sebagai bahan ejekannya dan sedikit melembut karena kami bukan lagi hanya sebatas teman. 

Jumat, 10 Juni 2011

N.Y.A.M.U.K

Aku bilang dia seperti nyamuk, terus berbunyi dan mengganggu. Aku bilang dia seperti pengusik, selalu kurang kerjaan dengan selalu hadir dimanapun aku berada. Aku bilang aku tak nyaman, aku bilang aku tak menginginkannya. Aku selalu menolak tapi sekuat apa aku mengelak, sekuat itu pula dia berjuang untuk tidak aku matikan. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menanggapi keberadaannya, tapi ternyata kegilaannya membuat aku tergila - gila. Semakin kuat aku berfikir untuk tidak peduli, semakin kuat pula akhirnya aku bertanya – tanya tentang sebab, aku bertanya – tanya tentang alasan. Aku telah berfikir tentangnya, aku berkesimpulan; ada yang hilang saat dia hilang.

 “ sudah kubilang aku tidak mengisap darahmu, aku bukan nyamuk, aku widi.”

“ tapi kamu mengganggu, kamu menguntitku kemanapun aku pergi. Aku tak suka itu “

“ percayalah, aku tak pernah menguntitmu. Takdirlah yang selalu mempertemukan kita dan aku selalu senang untuk menerimanya “

“ tapi kamu mengganggu dan…. “

Dia yang ku sebut nyamuk memang selalu akan memilih berlalu sebelum aku menyelesaikan mantra – mantraku. Aku tahu dia selalu enggan untuk berdebat dan menghormati hakku untuk berkomentar sehingga pergi dengan meninggalkan sedikit senyum adalah pilihan terbaik untuknya. Tapi bagiku itulah petaka, keenggananya untuk berdebat selalu membuatku bertanya – tanya akan sebab dan senyum manis yang tersungging diujung bibir sebelum berlalu adalah alasan kuat mengapa aku terus merasa terintimidasi. Senyum manisnya selalu berbekas bahkan ketika suara dan jasadnya sudah tak lagi mampu ditangkap indra walaupun sungguh sebenarnya aku tahu, dia masih akan selalu ada disana; mengintaiku, membauiku, menguping semua hal dan semua itu sungguh adalah hal yang membuatku menyebutnya sebagai pengganggu.