Aku menungguimu hingga larut malam. Menepis bayangan nyata yang keluar dari kaki – kaki tirai jendela sambil tak henti – hentinya mengumandangkan namamu agar aku tetap sadar kau tiada disisiku. Aku menungguimu hingga pagi buta. Melepas setiap lembar harapan bersama detak jam didinding sambil tak lelah – lelahnya mempertahankan keyakinan agar tetap berada ditempat yang semestinya.
Aku memaafkan, pun bila aku yakin aku akan berusaha melupakan. Aku mengalah demi hal baik yang pelan – pelan mampu aku terima. Apa yang salah denganku ? apa yang salah dengan sikapku ? ketahuilah bahwa belajar menerima itu tetaplah tidak mudah. Siapapun dia dan atas alasan apapu dia melakukannya.
Menahun sudah rasanya keyakinan terpupuk. Setetes demi setetes menurun dan tercurah. Aku pikir aku ikhlas, dalam dingin tubuhku tergetar. Titik – titik yang dingin itu membelah pipi – pipiku sepanjang perjalanan. Aku berharap semuanya bermuara dilaut, tapi ternyata aku cukup sadar untuk puas dan menerima kenyataan bahwa semuanya hanya menjadi limbah dalam cawan suci kita. Mengendap dan tak kemana – mana.
Sepertinya tak ada yang mampu menyangkal arti kata jatuh yang sebenarnya. Jatuh adalah sakit. Tak ada yang ingin sakit dalam hidup, begitu juga aku. Tapi aku tahu aku telah terjatuh jauh, sangat jauh. Aku sakit. Jatuh tetaplah jatuh yang adalah luka, perih, nanah dan itupun berlaku untuk cinta. Aku tahu, aku jatuh padamu dalam cinta sedari dulu. Sedari dulu itu juga aku merasa yakin bahwa tak ada jawaban lain selain ‘ya’. aku memang terjatuh tapi ‘ya’ dirimu yang akan selalu ada untuk meredam perih dan menukar sakit dengan rasa yang lebih manis.