Selasa, 26 April 2011

Candu

Aku menungguimu hingga larut malam. Menepis bayangan nyata yang keluar dari kaki – kaki tirai jendela sambil tak henti – hentinya mengumandangkan namamu agar aku tetap sadar kau tiada disisiku. Aku menungguimu hingga pagi buta. Melepas setiap lembar harapan bersama detak jam didinding sambil tak lelah – lelahnya mempertahankan keyakinan agar tetap berada ditempat yang semestinya.

Aku memaafkan, pun bila aku yakin aku akan berusaha melupakan. Aku mengalah demi hal baik yang pelan – pelan mampu aku terima. Apa yang salah denganku ? apa yang salah dengan sikapku ? ketahuilah bahwa belajar menerima itu tetaplah tidak mudah. Siapapun dia dan atas alasan apapu dia melakukannya.

Menahun sudah rasanya keyakinan terpupuk. Setetes demi setetes menurun dan tercurah. Aku pikir aku ikhlas, dalam dingin tubuhku tergetar. Titik – titik yang dingin itu membelah pipi – pipiku sepanjang perjalanan. Aku berharap semuanya bermuara dilaut, tapi ternyata aku cukup sadar untuk puas dan menerima kenyataan bahwa semuanya hanya menjadi limbah dalam cawan suci kita. Mengendap dan tak kemana – mana.

Sepertinya tak ada yang mampu menyangkal arti kata jatuh yang sebenarnya. Jatuh adalah sakit. Tak ada yang ingin sakit dalam hidup, begitu juga aku. Tapi aku tahu aku telah terjatuh jauh, sangat jauh. Aku sakit. Jatuh tetaplah jatuh yang adalah luka, perih, nanah dan itupun berlaku untuk cinta. Aku tahu, aku jatuh padamu dalam cinta sedari dulu. Sedari dulu itu juga aku merasa yakin bahwa tak ada jawaban lain selain ‘ya’. aku memang terjatuh tapi ‘ya’ dirimu yang akan selalu ada untuk meredam perih dan menukar sakit dengan rasa yang lebih manis.

Rabu, 20 April 2011

yang jatuh dan terhempas dari mata (hati) malaikat

Apa benar akan selalu datang pengampunan setelah kita mampu memaafkan ? jawabannya tanyakan pada angin yang menabur pasir dibibir pantai. Apa benar akan selalu datang maaf setelah semua salah mampu diampuni? jawabannya tanyakan paada buih air laut yang diterbangkan angin.

---

Anak laki – laki itu sudah menungguku diujung jalan sana. Menyeduh dua cangkir kopi seperti biasa untuk menemani kami bercerita. Anak laki – laki itu gagah, tinggi—tegap, berkulit coklat dan semua itu membuatnya terlihat pemberani. Aku menyukai anak laki – laki itu, aku menyukainya yang jatuh hati pada gunung, pada lembah, pada hutan, pada pantai, pada laut, pada ombak dan pada semuanya yang mendatangkan padanya kesunyian. Anak laki – laki itu selalu mampu menggambarkan padaku sepi yang membahagiakan, dirinya seperti berbicara dari hati ke hati tanpa harus sedikitpun pilihan berhati – hati. Aku merasa membutuhkannya untuk bernafas lega, berlindung dari dunia yang sering bersikap sebagai pengasingan karena nafas kami berpaut dan mampu saling menghangatkan.

Satu belokan lagi aku akan menemukannya, duduk seperti biasa dibagian pojok coffee shop sederhana yang menghadap ke empat mata jalan. Bagiku sendiri coffee shop itu kadang tak ubahnya seperti tempat persembunyian, perapian terbaik untuk menghangatkan diri dari badai kehidupan yang sering datang tak mengenal musim. Disetengah meja yang menempel didinding dan hanya bisa diisi dua orang tersebut mesra dirinya menunggu, terbayang jelas raut wajah yang tak henti menghujani hati dengan kerinduan, menimbun rasa ingin berpelukan dan berkasih – kasihan. Aku tak sabar ingin segera bertemu anak laki – laki itu.

Senin, 11 April 2011

Ternyata (itu) Cinta

deviantart.com
Katamu akan selalu ada hari cerah setelah mendung yang berkepanjangan. Katamu akan selalu datang kebahagian setelah berkali - kali kesakitan. Aku melihatmu lebih sering tersenyum akhir – akhir ini, begitupun aku. Ada semacam energi positif baru yang kamu temukan, begitu juga aku.

Benar sungguh bahwa ternyata hidup adalah tentang menjalani rahasia. Hidup adalah tentang menempuh kisaran waktu tertentu dengan segala ketentuan dan sekian kemungkinan yang bisa akan ada di dalamnya. Setiap manusia tidak akan pernah tahu kapan kebahagian atau  kesakitan akan datang menghampiri hidupnya, karena seperti hari yang bisa cerah dan mendung, keduanya selalu memiliki kemungkinan yang sama besarnya. Manusia berkuasa membuat perkiraan namun ketentuan semestalah yang menjadi kehendak. .

Dulu aku sering bertanya padamu tentang takdir pertemuan. Bukan tentang dua orang yang berpisah lalu dipertemukan kembali tapi sebaliknya tentang dua orang yang belum pernah bertemu sebelumnya. Katamu sejatinya takdir pertemuan adalah tentang kehendak dipertemukannya dua titik yang membentuk relasi, kuasa atas kelahiran ruang yang sebelumnya tiada menjadi ada.

Sebuah takdir pertemuan layaknya sebuah pintu, sebuah akses masuk menuju satu masa yang telah direncanakan jauh sebelum catatan waktu terjadinya peristiwa tersebut. Pertemuan tidak terjadi begitu saja sebagai sebuah peristiwa reaksional. Aku percaya padamu bahwa pertemuan adalah tentang ada yang bermula dari tiada. namun akupun percaya bahwa ada yang berasal dari tiada tersebut sebenarnya telah ada sebelumnya, dalam bentuk yang tidak tersentuh sehingga disebut tiada. Takdir  pertemuan adalah tentang sebuah peristiwa metafisika.
Aku memperhatikan dudukmu yang terlihat lebih santai, nafasmupun terdengar jauh lebih luas dari sebelum – sebemlumnya. Sungguh sebuah keanehan setelah tidak pernah melihatnya dalam kurun waktu yang sangat lama. Kamu tersenyum padaku, akupun membalas senyummu.

KAMU ADALAH SALAH

Dieng
Kita membungkuk saat angin bertiup terlalu kencang untuk dibendung. Kau membekap tubuhku yang terlalu kekecilan untuk pelukmu dan itu sungguh semakin membuatku berantakan lebih dari angin kencang dan cuaca buruk ini. Disisi kiri dan kanan kutahu kita tidak sendirian tapi aku seperti hanya merasakanmu. Aku merasa kita hanya berdua, sembunyi – sembunyi memaduh kasih disepanjang jalan kecil tanpa pembatas ini.

Mengapa kita harus sembunyi – sembunyi katamu. Apakah cinta bisa menjadi salah hanya karena persoalan waktu dan keadaan ? aku tersenyum, aku menggeleng. Sudah kuputuskan untuk memelukmu lebih erat dari sebelumnya, meredam pertanyaan dan kecemasanmu. Aku tak ingin masuk kejurang dan mati sebelum bercinta dengan wajar denganmu diranjang.

“ pram’ aku merasa sudah jatuh “

Aku berbisik pelan ditelingamu sambil memelukmu dari belakang. melingkarkan lenganku dilehermu dan menjatuhkan tubuhku diatas punggungmu. Sudah lebih dari satu jam kamu membungkuk disana, memandangi danau tiga warna yang kini hanya tersisa hijaunya. Aku bosan bila ditinggalkanmu sendiri walau meski sebenarnya aku tak benar – benar sendiri disini tapi alasanku berada disini semata – mata hanyalah kamu.

“ jatuh apa ? “

Seketika daun – daun berhenti bergoyang, riak air didanau danau yang bergunjang ditup angin tak perlu sampai ditepi untuk menjadi sempurna ketika kamu berpaling untuk menemukan wajahku, jarak kita dekat tak cukup sejengkal. Aku jatuh, aku merasa cukup.

Aku Gila. Aku Menunggu !

Aku cukup sadar bahwa cinta harusnya adalah sebuah tabrakan bukan tumbukan. Cinta harusnya adalah dua bagian yang bergerak dari arah yang berlawanan, menuju ke titik yang sama dan pada momentumnya akhirnya melepas diri untuk saling bertabrakan, hancur tapi ternyata kemudian mampu melebur menjadi satu. Cinta idealnya adalah tabrakan dua bagian perasaan bukan tumbukan sebuah perasaan pada tiang, pintu, tembok, atau apalah selain perasaan karena perasaan yang lain bergerak kearah yang sama atau tragisnya malah hilang ke lintasan yang lain. Cinta adalah sebuah tabrakan, bukan tumbukan dan aku sadar.

Bayangnya baru saja berakhir di ujung gang sedang aku masih belum siap untuk merekam gambarnya karena masih sibuk membereskan gambar mimpi sisa semalam yang belum sempat aku bereskan. Aku sadar, aku gila. Aku sadar setiap malam aku memimpikannya, aku sadar pula setiap pagi aku menunggunya dititik pertemuan hanya untuk merasa cukup dengan memandanginya dari jauh dan aku sadar semua itu bukan baru terjadi kemarin tapi sekian tahun. Aku sadar, aku gila atau lebih terhormat dengan mengatakannya sebagai tergila – gila.

“ apakah tidak sebaiknya kamu bosan saja ? “

Suara itu datang lagi, suara dari entah pena, entah kertas, entah sepatu, entah bangku atau entah apalah itu. Tanganku berhenti bergerak, aku harus menegakan dudukku agar Nampak sebagai lawan yang sebanding untuk menghalau semua serangan.

“ aku sudah lelah memintamu untuk pergi, melupakan dan masih banyak lag pilihan laini. Sekarang aku hanya memintamu bosan. Itu pilihan terakhir yang aku punya untukmu “

CINTA (TAK) BUTUH AKSARA

nico wijaya | photoworks
Kadang aku berfikir untuk apa kulakukan semua ini. Aku tak mampu mengungkapkan apa – apa seperti yang dilakukan kebanyakaan orang atas nama perasaannya, akupun tak kunjung berkeinginan untuk menunjukan apa – apa layaknya seseorang yang mengharapkan hasil dari sesuatu yang dicita - citakan. Aku tahu benar bagaimana perasaanku tumbuh berkembang dari waktu ke waktu, aku sadarpula betapa cita - citaku begitu besar tapi aku tak berani menjawab perasaanku dengan pilihan, aku juga tak berani membayar cita – citaku itu dengan sebuah usaha: Aku takut.

Pernah aku berfikir tentang bagaimana ternyata waktu sudah begitu cepat sekali berlalu, berganti dari detik kemenit lalu menit ke jam lalu jam ke hari lalu hari kebulan lalu bulan ke tahun dan aku masih tetap tak beranjak, tetap dan bahkan tak sedikitpun terlintas kata cukup atau memilih pergi. Aku tetap, tetap takut dan tetap merasa tidak selesai dengan diriku sendiri dan kenyataan. Aku mencintainya dengan perasaan yang besar, memilikinya adalah cita – cita terbesarku tapi aku tetap tak sedikitpun bergerak: Aku takut.

Sering aku menyesali diri karena memelihara perasaan yang semakin hari semakin besar dan cita – cita yang seiring waktu berubah menjadi kekuatan yang kadang sulit untuk kubendung. Aku telah memelihara rasa cinta yang ragaku sendiri menyangkalinya, aku telah memelihara keinginan memiliki tanpa menimbang rasio betapa kekuranganku adalah sebesar – besarnya alasan untuk membuatku berhenti. Aku pernah hampir saja pergi tapi dia datang tepat dihadapanku dan sedikitpun aku tak dapat mengelak. Aku kembali bersembunyi dibalik dinding: cinta tak butuh aksara.

Gong’ pernahkah kau mencintai sesuatu yang lain lebih dari kau mencintai pekerjaanmu ? celetuk si babah tukang rokok tiba – tiba kepadaku. Tapi belum sempat aku bereaksi apa – apa, babah sudah mengeleng – gelengkan kepala dan tertawa, dia tahu dia tidak akan mendapatkan jawaban apa – apa dariku karena aku memang tidak akan berkata apa – apa kecuali tersenyum meski sejujurnya ingin sekali rasanya kujawab pertanyaannya itu dan keyakinanku jujur menanggapi sungguh bahwa ternyata tak semua hal akan dirasakan cukup hanya dengan senyuman.

DUNIA TAK PERNAH LAGI AMAN TANPA JAMILAH

Kenangan adalah segalanya tentang ingatan, segala hal yang seketika hadir pada detik kemudian setelah pengulangan terjadi di hidup manusia. kenangan adalah segalanya tentang hidup dan bagian – bagian yang hidup didalamnya. Kenangan bagiku adalah tentang dua ruas jalan yang saling menyilang dan empat mata jalan dengan nama yang berbeda - beda. Kenangan bagiku adalah tentang menyusuri barisan toko tua untuk berakhir di ujung jalan, di sebuah bangku taman dengan cat hijau pudar yang berhadapan dengan air mancur dari lampu. Kenangan adalah segala tentang ingatan yang membuat dunia tak pernah menjadi aman lagi.

“ kamu liat toko keramik diujung sana ? “ tangannya menunjuk jauh kearah utara melintasi kendaraan yang berlalu lalang kearah gedung yang berada dibagian paling ujung

“ yaa, aku melihatnya “ aku mengangguk “ Ada apa dengan toko itu ? sepertinya bangunan itu berumur tua “

“ konon, toko keramik tersebut adalah salah satu bangunan paling megah dikota ini sebelum masuknya pembangunan. Bangunan itu sudah ada sejak 1913, tertua dikawasan ini “ dia menjelaskan dengan mimik serius dan aku hanya mengangguk “ pemiliknya adalah keluarga dermawan, warga keturunan yang sudah beranak pinak disini, perempatan ini tanpa bangunan tersebut adalah bukan apa – apa, maka begitulah semua orang akhirnya menyebut perempatan ini dengan nama perempatan dermawan”

Aku masih terus memperhatikan bangunan tua diseberang jalan yang masih terus menyita perhatian Jamilah. Bangunan itu nampak kusam dengan warna putih di tembok yang dibuat waktu menjadi kekuning – kuningan, aku percaya bangunan itu pernah terlihat megah seperti yang dikatakan Jamilah. Bangunan tiga lantai dengan banyak jendela itu memang seperti sengaja dibuat seperti tak terpisahkan dari tempat ini, menyilang secara diagonal, lurus seperti diatur untuk berhadapan langsung dengan taman, dengan air mancur dan dengan tempat kami duduk.