Minggu, 01 Mei 2011

Kamu sempurna ketika (klakkk*) "lampu mati"

Menyapu pipinya lembut, menyibak pelan anak rambutnya yang terurai, memeluk erat tubuh nya dan mengecup manis kedua keningnya adalah semua hal yang selalu ingin aku lakukan berulang kali dalam setiap ketidakberdayaan ruang dan waktu untuk memisahkan. Ruang yang tertempuh sekian lama dan waktu yang tak pernah cukup untuk sekian cerita seperti selalu kembali ketitik nol ketika jarak kembali tiada.

Aku berdiri didepan pintu, menahan berat letihnya sebuah perjalanan dinas. Mengendap – ngendap karena tidak ingin ketahuan siapapun bahwa aku telah mencuri waktu untuk menuai rindu dari pohon yang dipelihara alam dengan hukumnya. Aku tahu aku tak bisa berpisah dengannya telalu lama, aku tahu aku tak bisa terlalu rindu padanya, aku tahu berpisah dengannya adalah berarti mimilih hidup dengan sesak nafas, aku tahu merindu padanya adalah seperti tersesat ditengah padang gurun dan mencari oase.

Aku mengetok pelan daun pintu. Menanti – nanti sebuah pesta penyambutan sederhana. Peluk hangat dan kecup sayang dua manusia yang secara temporer dipersatukan perasaan masing – masing. Perpisahan berbulan – bulan yang telah melahirkan satu tahun rindu membuatku tak sabar untuk memperlihatkan padanya surat dinas atas nama cinta dan kerinduan yang kubuatkan khusus untuknya. Aku tak sabar memberikan upeti berisi waktu yang kucuri setiap harinya atas nama kasih sayang kepadanya. Aku tak sabar menunggu pintu itu dibuka dan pesta resmi dimulai.

“ Jadi sekarang biu – biu kecilmu itu sudah masuk taman kanak – kanak ? pasti sekarang dia sedang lucu – lucunya. Aku ingin sekali melihatnya mengenakan seragam lengkap dengan perkakas tempat makan dan botol air minumnya, pasti lucu sekali itu.”

Aku memperhatikannya yang tersenyum – senyum sendiri sembari melihat ke jendela seakan – akan semua memori yang dibutuhkannya untuk menunaikan rasa keingin tahuannya hadir disana. Aku mendekap dalam tubuhnya yang direbahkan pasrah didalam pelukku. Dia menyediakan satu minggu terakhir untuk mempersiapkan hari ini, mempersiapkan malam ini. Baginya setiap kerinduan sudah tak lagi mampu dianggapnya rasional sehingga kata – kata tak lagi cukup untuk mewakili. Dia membuat semuanya dengan cinta dan kerinduan tak bernama katanya dimeja makan tadi. Dia membeli gaun, menyiapkan makan malam paling istimewa lengkap dengan lilin aroma terapi yang membungkus kelelahanku, dia membereskan semua yang dianggapnya akan merusak suasana termasuk membereskan kembali perasaannya yang berantakan karena jarang ada kabar dariku. Dia melakukan semuanya sendirian, seorang diri dan aku hanya bisa lemah memeluknya dalam.

“ ibu menjodohkanku dengan seorang pengusaha kayu di Kalimantan. Tapi aku sudah menolaknya “ sebuah helaian nafas kurasa diakhir kalimat. Dia kembali berusaha mematikan kecemasanku dengan berbalik dan memamerkan senyum manis sembari meninggalkan jejaknya dibibir.

“ apa jawaban kamu ke ibu ? “ aku membalas senyumnya

“ Aku bilang, aku ga mau pisah terlalu jauh dengan ibu “

Kalimat itu menggantung, jawaban itu tak sepenuhnya selesai tetapi dia memilih berhenti berucap. Aku memilih menunggu beberapa detik tapi sia – sia, tak ada lagi kalimat setelah itu. Aku merasa tidak diberi celah untuk bertanya lagi, dia seperti ingin tetap berujar bahwa dirinya tetap milikku, tak pernah berubah. Dia tak ingin membuatku cemas, dia tak ingin membuatku terbebani. Dia tahu benar aku tahu jawaban sebenarnya mengapa dia berkata tidak untuk perjodohan itu. Dia mencintaiku.

“ aku tak ingin hidup dengan sesuatu yang sama sekali tidak aku yakini. Aku lebih baik sendiri dari pada itu terjadi, kamu tahu benar bahwa tak ada hal didunia ini yang bisa aku yakini dengan sempurna kecuali kamu dan sepotong dunia tempat kita bisa bersama. Kamu masih tahu itukan sayang ? “

Aku mengangguk. Bayangan didinding mencetak senyumnya juga anggukanku. Kamar gelap, dan lampu telah dimatikannya sejak tadi tanpa pernah diminta untuk dihidupkan lagi. Angin bertiup pelan mengibas tirai jendela dan hanya horizon malam yang hitam pekat juga nafasnya yang pelan – pelan terbenam yang tersisa untukku. Adanya dirinya disiku membuatku tak sedikitpun ingin bergerak. Bertahun sudah rasanya sejak perasaan itu hadir bersama cinta yang datang seketika lalu tak pernah pergi tapi tak satupun nama yang pantas bahkan cukup untuk membingkai semua kebersamaan ini kecuali pengertian.

Bagiku, aku dan perempuan yang memilih hati dan jiwanya untuk bersandar di lenganku malam ini adalah satu dari sekian cerita tentang manusia – manusia yang ingin mendera kesakitan karena merasa kesakitan itu layak untuk diterima. Sakit dari perasaan yang merindu akan tetap menjadi berbeda dari rasa sakit hati akibat kemarahan, rasa sakit dari jatuh cinta yang dalam akan tetap berbeda rasanya dari jatuh dari pohon yang tinggi. Sakit dalam saling pengertian akan rindu yang tak berbatas dalam sentuhan juga cinta yang tak berbatas dalam kata adalah sakit terindah yang hanya mampu diberi tanda oleh waktu. Aku memandanginya, memandangi kelopak mata yang bertemu, senyum yang mengembang serta merasakan hangat tubuhnya yang menjalar menghalau dingin yang menurun dari ujung – ujung selimut. Aku tak ingin bergerak, aku ingin sekali menyandra ruang dan waktu untuk membuat dunia yang lebih masuk akal untuk setiap jejak yang tertanam dan tak mau sedikitpun terlepas. Kadang aku tahu gelap itu baik, tapi terangpun istimewa. Baru saja aku ingin mengulang sebuah pertanyaan.

“ aku tahu terang itu istimewa tapi aku hanya ingin menjadi gelap untuk tetap bisa menjadi baik bersamamu. Dunia telah menipu dengan segala kepalsuan yang ada didalamnya, maka aku memilih menipu dunia dengan kejujuran perasaanku yang mampu menerima semua keadaan bahkan kemudian mampu membuat dunia ini kebingungan. “ matanya menangkap mataku. Sorotnya tajam dan kelopaknya mata yang tadi bertemu kini berpisah sejauh jauhnya menyiratkan kesungguh – sungguhan “ aku tak pernah menyalahkanmu atas semua keadaan ini. Semua sudah tertulis katamu dan kita hanya harus menjalaninya sebagaimana mestinya. Aku menerima itu. Selalu menerima dan jikalaupun aku butuh terang, hanya kamu satu – satunya lampu yang aku percaya, hanya denganmu aku merasa aman untuk bahagia ”

Pelukanpun luruh bersama malam yang ingin pulang untuk digantikan pagi. Rindu tebal tapi cinta ternyata bisa selalu lebih tebal ketika pengertian dan penerimaan atas kesakitan menjadi satu – satunya bahasa yang dipilih untuk menjadi bahagia. Aku hanya ingin diam, memeluknya dan membiarkan waktu dan ruang tetap berada diantara sampai tiba waktunya tanda untuk kembali berpisah dengan tetap sadar bahwa dia menunggu dalam gelap yang entah sampai kapan akan dirasa sempurna. Aku tahu pilihan untuk bahagia adalah mutlak dan terkadang tak akan mampu dirasionalisasikan dengan analogi apapun maka hanya ruang dan waktu yang mampu memberi tanda, kapan gelap menjadi baik dan kapan terang menjadi istimewa. Aku hanya mampu akhirnya hanya mampu memandangnya cemas, dalam cemas.

“ kamu tak perlu cemas, dunia kita gelap tapi semuanya tetap baik tanpa lampu yang harus dinyalakan. Hatiku terang bersamamu dan itu saja cukup sayang “ senyumnya kembali mengembang, konstan dan tak pernah sedikitpun berubah. dia terlampau mampu membuat aku tenang tapi aku tahu aku hanya ingin menjadi baik untuk dia yang istimewa-dalam gelap.
---
Ambon 02Agustus 2010 – 5.28am
(*klakkk : bunyi saklar lampu dimatikan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar