Untuk suatu peristiwa yang terjadi didalam kehidupannya aku percaya setiap manusia melewti beberapa kali momentum peristiwa – peristwa atau tanpa mengurangi nilai dan maksud aku menyebutnya sebagai sub – sub peristiwa, rangkaian peristiwa – peristiwa kecil hingga bemuara pada kesadaran yang didasari keyakinan. Aku merasa telah belajar semua itu dari cinta.
Sebagai seseorang yang sejak lama dianggap kolot dan kuper setidaknya sejak masa SMA, aku selalu merasa tertinggal dari banyak vf anak seumuran, anak - anak laki- laki dikelas yang mampu berani mendekati dan menggombali peremuan – perempuan yang mereka suka, memamerkan koleksi foto perempuan – perempuan yang cantik rupawan dan paling penting menceritakan seribu satu cerita atas apa yang telah mereka perbuat bersama pasangan mereka. Aku selalu hanya pantas untuk mendengarkan yang kadang – kadang ditambahkan hinaan betapa tidak mampunya aku melakukan apa yang bisa dengan gampang mereka lakukan. Kata mereka aku hanya pantas baca buku dan tak akan pernah pantas melakukan apa yang mereka lakukan, entah apa dasar mereka mengatakan itu, aku sendiri tidak pernah memikirkannya sehingga hanya menerima dan menganggap olok – olokan tersebut sebagai sesuatu yang masuk akal dan seperti yang sudah mampu ditebak sebelumnya semuanya berlanjut hingga masa kuliah, aku terasing sendiri digaris belakang dan cinta bagiku tersembunyi dibalik tumpukan buku – bukuku.
“ akan pulang lebih awal lagi pak ? “
Aku menengok dan mengangguk sekenanya, mengiyakan asistenku yang masih sibuk membereskan tumpukan makalah yang baru saja aku kumpulkan tadi. Bukan sesuatu yang menyenangkan menurutku dipanggil “ pak ” dengan umur yang masih terlalu muda tapi hal tersebutlah yang musti aku terima karena alasan kedudukan dan statusku sebagai seorang dosen namun sebagai seorang laki – laki berumur 27 tahun dan belum menikah hal tersebut tentulah adalah masalah. Kadang aku ingin meminta disapa dengan panggilan mas saja, abang atau kakak oleh asisten – asistenku, mahasiswa – mahasiswaku dan oleh siapapun yang umurnya tidak terlalu jauh berbeda dibawahku tapi hal tersebut selalu aku urungkan karena entah mengapa aku merasa permintaan tersebut akan terkesan sebagai sebuah bentuk pesimisme dan penolakan terhadap apa yang telah dengan tekun aku bangun. Kadang aku merasa telah terlampau egois bahkan untuk diriku sendiri.
“ bapak akan ke perpustakaan nasional lagi ? “
Asistenku kembali bersuara dan kali ini pertanyaannya menurutku terlalu privasi, aku menoleh dan mengangguk lagi.
“ saya kagum dengan bapak “
Kali ini aku berbalik dan menunggu lanjutan kalimatnya yang menurutku menggantung sehingga butuh penjelasan lebih lanjut. Asistenku, perempuan berusia 23 tahun yang baru menyelesaikan studi strata satunya beberapa bulan yang lalu itu menyadari ekspresiku dan melanjutkan kalimatnya.
“ iyah saya kagum sama bapak dan sebenarnya bukan saya sendiri kok, banyak teman – teman saya yang juga kagum sama bapak karena bagi kami bapak itu baik untuk dijadikan panutan “
Aku memutuskan untuk menghentikan aktifitasku memisahkan mana buku yang aku bawa pulang dan mana yang tidak lalu menyeret kembali kursi dan duduk.
“ menjadikan saya panutan ? “
“ iyah pak. Bapak adalah panutan banyak mahasiswa “ perempuan berseragam hitam putih itu menyelesaikan pekerjaannya dan duduk dikursi kosong tepat bersebrangan denganku. “ waktu zaman kami pertama kali kuliah, nama bapak selalu menjadi contoh yang disebut – sebut banyak dosen untuk ukuran prestasi akademis. Kata mereka bapak adalah mahasiswa yang sangat membanggakan dan mampu menyelesaikan studi denga cepat dan dengan nilai yang sangat baik. persepsi tersebut kemudian menjadi semakin meningkat ketika bapak mengajar kami setelah menyelesaikan studi S2 bapak. Kata banyak dosen sampai sekarang bapak masih terus ke perpus nasional untuk membaca padahal menurut saya bapak sudah punya wawasan yang sangat luas “
Aku terdiam mendengar racauan asistenku tersebut dan berusaha tidak menganggapnya sedang merayuku karena berbicara sambil terus tersenyum – senyum. Aku merasa tidak mengerti perihal apa yang sedang aku hadapi tapi aku merasa hidupku seperti telah dibuntuti asistenku tersebut dan dalam hitungan sepersekian detik kemudian dia bisa dengan sangat merubah dirinya sebagai cermin yang memberikan pencitraan atas diriku, sungguh sesuatu yang selama ini tidak pernah aku lakukan.
“ apa menurutmu semua yang terjadi dalam keseharian saya terlihat baik – baik saja ? “ mulutku kelepasan melontarkan pertanyaan.
“ oh. Iya. Tentu pak. Tentu semua terlihat baik pak. Sangat baik malah pak “ perempuan itu seperti tidak menduga aku akan melontarkan pertanyaan seperti itu.
“ kalau boleh tahu kenapa bapak bertanya seperti itu ? “
Perempuan diseberangku menatap lurus padaku dan membuat aku tiba – tiba menjadi kikuk. aku menyesal telah member ruang padanya untuk melontarkan pertanyaan yang konyol seperti itu.
“ tidak. Tidak kenapa – kenapa “ aku tersenyum dan kembali berdiri lalu berbalik menekuni satu demi satu buku yang akan aku bawa pulang dengan memasukan satu demi satu ke dalam tas. Aku tahu asistenku itu kini berdiri tepat dibelakangku.
“ saya permisi kembali keruangan saya pak “
Aku kembali berbalik dan mengangguk sembari tersenyum tapi baru saja aku hendak berbalik untuk melanjutkan apa yang sedari tadi tidak kunjung aku selesaikan, perempuan itu kembali bersuara lagi.
“ sebagai orang yang kagum sama bapak, saya sebenarnya ingin sekali menanyakan sesuatu sejak jadi mahasiswa bapak dulu “
Aku kembali berbalik dan memberikan ekspresi tertarik sebagai tanda untuk mempersilahkannya menyelesikan kalimatnya.
“ apa yang membuat bapak begitu tekun belajar, mencintai buku dan terus menyempatkan diri untuk datang ke perpustakaan ? “
Aku tersenyum dan entah kenapa tersenyum lama sekali sebelum akhirnya menjawab pertanyaan perempuan dihadapanku yang juga akhirnya tidak bisa menolak untuk ikut tersenyum – senyum.
“ kenangan “ perempuan dihadapan saya tersebut berhenti tersenyum dan mengerutkan dahi “ yaa kenangan. Saya melakukan semua itu karna kenangan “
---
Dunia serasa menyempit dan aku kembali merasa terjepit didalamnya. Kenangan adalah segala yang harus bertanggung jawab bagiku, sebuah narasi besar—pelangi cerita yang memayungi cerita – cerita kecil yang ada dalam kehidupan. Aku merasa telah hidup untuk kenangan sama seperti juga yang mungkin dialami banyak orang. Tapi bagiku kenanganlah yang membuatku bertahan hingga titik dimana aku bisa berdiri dan menatap diriku sendiri dengan dagu terangkat dicermin setelah semua yang aku lewati dalam hidup.
Gerimis mulai jatuh ketika dudukku tiba pada sebuah tempat biasa, bagaimana hidupku hari ini bila kenangan itu tidak pernah ada ? aku benar – benar tidak bisa membayangkannya.
“ untuk apa kamu peduli dengan apa yang mereka katakan, kamu punya apa yang tidak mereka punya “
Aku memperhatikan Mayu yang tenggelam dalam bumi manusia-nya, entah sudah berapa ratus kali aku menemukannya membaca buku tersebut tapi mimiknya tak pernah berubah selalu hanyut dibawa pramudya.
“ mungkin kamu perlu merubah penampilanmu. Aku bisa bantu kamu untuk itu “
Kami seperti berbisik – bisik, menghalau gema diruang luas yang lengang tapi aku tetap menemukan keseriusan dalam tiap tekanan katanya. Aku merasa Mayu tak pernah butuh matanya untuk memandangku, aku merasa hatinya saja cukup untuk menyentuh sekujur tubuhku.
Mayu telah menyelamatkan aku, laki – laki biasa yang menjadi semakin biasa karena terus diolok – olok dengan sebutan “bencong”, aku tak merasa kemayu atau punya kelainan orientasi seksual tapi itu semacam streotip yang menempel dijidatku karena tidak kunjung punya pacar atau paling tidak dekat dengan seorang perempuan. Teman – teman lelaki semasa SMA yang kusebut penguntit karena bertemu lagi di bangku kuliah seperti tidak pernah memberi ampun dengan terus menyerang kehidupanku hingga Mayu datang menyelamatkanku.
“ kamu musti jadi orang yang kuat, hidup untuk hidup kamu sendiri. Peduli setan apa kata orang, anggap saja mereka setan dan kamu malaikat. Mereka bangga dengan dosa, kamu harus bangga belum pernah berbuat dosa “
Mayu tidak menyelesaikan studinya. Aku menyebutnya hilang ditelan bumi walau sebenarnya dia berpamit setelah berbulan – bulan aku mencarinya kemana – mana. Dia duduk di tempat biasa kami duduk bersama gerimis yang datang.
“ aku sudah dilamar “ Mayu menatapku dan aku merasa itu untuk kali pertama
“ sudah berapa bulan kamu ? “
Mayu menggigit kue cina, matanya yang sipit semakin hilang menikmati tiap lapis kue kesukaannya itu “ skarang jalan 6 bulan. Sudah besar yaa ? “ mayu mengusap – ngusap perutnya sambil terus menatap kearahku, aku ingin sekali berkata lebih banyak tapi aku sudah lebih dulu kikuk ditatapnya.
Aku mengangguk, Mayu hidup bahagia dan aku kembali hidup sendirian seperti malaikat yang tak pernah berdosa dan juga tidak pernah mau peduli apa kata setan. Mayu membentukku menjadi manusia yang pemberani sekaligus tega dengan diriku sendiri karena tidak pernah berhasil mengatakan apa – apa tentang perasaan termasuk padanya.
Aku tengah mengenal Mayu, hidup bersamanya lalu melepasnya pergi dengan ikhlas dan semua itu kini menjadi kenangan, aku terus kembali ke perpustakaan tempat kami selalu datang, duduk dibangku taman sambil menanti – nanti hujan tanpa lupa menggigit sepotong kue cina dengan keyakinan ada bibir Mayu disana.
Hujan sudah datang dan aku melihat Mayu dikejauhan menari melambai – lambaikan tarian selamat jalan. Peristiwa – peristiwa kecil itu sudah menyesatkan aku jauh dan kini aku bermuara pada sebuah muara kecil yang kusebut keyakinan. Aku teringat asistenku siang tadi, aku telah melupakan banyak hal dalam hidupku dan mungkin dia ingin sekali menjadi cermin dan berkata padaku: pulanglah pak, jalanmu sudah jauh dan ketakutanmu sudah selesai. Hidupmu ada dibesok bukan kemarin.
---
Beranda GOR 16 Mei 2011 – 02.44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar