Ini adalah tentang laki – laki dan perempuan yang akhirnya memilih berbagi tempat tidur, ini adalah tentang laki – laki dan perempuan yang bersembunyi setiap malamnya dibalik satu lembar kain bernama selimut, ini adalah tentang aku dan dia, aku adalah suaminya dan dia adalah istriku. Kadang aku berfikir bagaimana mungkin aku menikah dengannya, dia pemarah, keras kepala, egois dan begitupun yang sebaliknya yang dikatakannya padaku. Istriku adalah seorang bangsawan, keturunan ninggrat dan berdarah biru. Dia juga tahu suaminya adalah seorang bangsawan, keturunan raja yang hanya tidak berdarah biru karena ditempat asalnya tak mengenal istilah tersebut. Itulah satu – satunya senjata baginya untuk merasa lebih dariku, dia darah biru dan aku bukan. Pernah sekali jarinya teriris ketika mengoceh tentang gambar yang aku buat sambil mengiris kentang. Darah yang mengucur dari jarinya tentulah berwarna merah bukan biru tapi dia tetap saja tak mau kalah. Aku juga mengoceh menyela segala rasionalisasinya, dia lupa tangannya teriris dan sibuk berdebat. Begitulah perempuan yang serlalu tertidur lebih dulu disampingku itu, begitulah istriku, begitulah yang aku tahu. Begitulah kami.
Nasib memang telah mempertemukan kami. Bagaimana tidak untuk membahas nasib, kami datang dari dua tempat yang berbeda, mengejar tujuan yang sama dan ternyata mendapatkan tempat yang berurut – urutan pada daftar nama karena nama kami dimulai dengan huruf yang sama yaitu D, aku Domi Aksara dan dia Donna Umaira. Nama kami adalah bagian yang penting dalam menentukan nasib kami, setelah berurut – urutan pada daftar masuk, ternyata kami juga berurut – urutan dikelas karena mendapatkan kelas yang sama. Kami sama – sama suka menggambar dari kecil, sama – sama termotivasi untuk menjadikan gambar sebagai cita – cita dan akhirnya menjebloskan diri di kuliah seni rupa dan desain. Dia sering mengejek namaku dengan menambahkan domi dengan no sehingga menjadi domino yang adalah salah satu jenis permainan kartu yang populer, katanya bapakku adalah keturunan raja penjudi yang menghabiskan waktu untuk bermain domino sehingga menamakanku dengan nama domi. Baginya domino adalah permainan kartu paling murahan dan tidak bergengsi tapi ketahuilah akhirnya semuanya menjadi begitu manis ketika akhirnya kami sering menghabiskan waktu untuk bermain domino bersama. Pada tahun terakhir kami kulaih, dihari ulang tahunku dia mengahadiahkan satu set kartu domino yang dibuatnya sendiri dengan menggantikan bulatan – bulatan berwarna merah seperti kebanyakan kartu domino dengan huruf – huruf yang berarti aksara. Dia akhirnya mengakui namaku memiliki arti yang istimewa, saat itu dia memang telah berhenti menjadikan namaku sebagai bahan ejekannya dan sedikit melembut karena kami bukan lagi hanya sebatas teman.
Aku menggambar banyak sketsa untuk Donna Umaira, perempuan berwajah manis dengan rambut yang panjang dan kaki yang jenjang, lembut dan menyejukan yang walaupun sebenarnya dia benar - benar jauh dari kesan tersebut. Donna Umaira yang namanya setelah Domi Aksara, duduk berseblahan dikelas dan memperdengarkan dengkuran keras tak berirama ketika tidur adalah perempuan berwajah tegas dengan rambut sangat pendek dan kaki yang sama sekali tidak proporsional untuk membuatnya terlihat cantik mengenakan rok, kasar dan membuat siapa saja akan gerah dengan segala ulahnya. Tapi begitulah dia menjadi begitu menarik bagiku. Aku selalu melihatnya dalam perspektif dan penafsiran terbalik. Wajah tegasnya memiliki mata yang sangat tajam, dia akan benar – benar membuat siapa saja yang melihat kearahnya ketika dia marah untuk memilih menunduk dan berlalu tetapi aku tidak, aku akan tetap menatap matanya karena dengan begitu dia akan terlihat begitu istimewa. Perempuan menyebalkan itu mengatakan tidak untuk puluhan laki – laki yang mendekatinya, merayunya dan mengajaknya berkencan. Sejujurnya diapun mengatakan hal yang sama untukku, tapi aku sama sekali tak bergerak. Jawaban tidak dari perempuan tegas sepertinya adalah sebuah penawaran terhadap nyali dan seberapa besar usaha laki – laki untuk mendekatinya dan mendapatkannya. Aku butuh 22 kali penolakan untuk mengajaknya jalan, 19 kali penolakan untuk mengajaknya makan malam, 5 kali penolakan untuk merubah status teman menjadi pacar kecuali aku hanya perlu satu kali untuk memintanya menjadi istriku. Bagi banyak teman hal tersebut adalah sebuah prestasi. Tapi mereka tidak pernah tahu bahwa sebenarnya saat itu nasiblah yang mengambil peran paling penting. Hidup kami ditentukan oleh benda berbentuk kubus dengan titik – titik yang umumnya berwarna merah seperti pada kartu domino. Kami percaya enam adalah angka terbaik dari setiap dadu. Mendapatkan angka enam adalah nasib terbaik dalam setiap kemungkinan menggunakan dadu dan “bingo” dadu membuat kami mendapatkan nasib itu.
“ Kamu yakin kita akan melakukan ini ? “
“ aku lupa kapan aku terakhir kali merasa tidak yakin dan pastinya itu terjadi ketika aku belum bersamamu ! “
“ aku tertarik untuk menganggap ini sebagai coba – coba, tapi aku cukup sadar untuk juga menganggap ini serius. Pernikahan itu bukan sebuah ruang coba – coba bukan ? “
“ tentu saja bukan. Tapi apakah kamu ingat bahwa kamu pernah mendefinisikan hidup ini sebagai permainan ? “ donna umaira berhenti memainkan gelasnya, menatapku sekan – akan mencari tumpukan ingatan yang dititipkannya di kepalaku “ waktu itu kita bermain ular tangga diselasar, kamu hanya butuh angka tiga untuk menjadi pemenang. Aku tertinggal beberapa langkah dibelakangmu dan ketika giliranmu, dadu itu tidak memberimu angka tiga tetapi angka satu dan kamu melesat jauh sekali dibelakangku. satu kolom didepan tempatmu berisi kepala ular yang akhirnya menelanmu bulat – bulat ketika akhirnya harus kau menuruti kehendak dadu sebagai aturan main. Saat itu katamu hidup adalah seperti sebuah permainan, manusia hanya perlu menjalani aturan main yang sudah ada dan menerima bahwa segala proses yang ada didalamnya telah ditentukan “
“ dan kamu bilang aturan yang paling istimewa adalah aturan dadu. Tidak tertebak dan cukup perlu berserah. Nasib dan takdir “ donna umaira, pacarku tersenyum tepat dimalam tahun ketiga usia hubungan kami.
Hidup bagi kami memang seperti sebuah permainan yang mengandung banyak sekali kemungkinan. Seperti domino yang dikocok dengan harus jujur lalu dibagikan dan tak ada satupun orang yang tau bagaimana model kartu yang akan dia dapat, begitu juga dengan segala jenis permainan yang menggunakan dadu. Dadu hanya perlu dikocok dan dibuang begitu saja tanpa perhitungan matematis, biar dia jatuh, bergulir lalu kemudian menyajiakn angkanya.
“ menurutku kali ini bukan angka 6 yang harus menjadi penentu. Kita tidak sedang akan memulai permainan ular tangga. Aku butuh angka 2 “ dia menandaskan gelas coklatnya dan mulai mengocok dadu dengan mimik yang serius. Lama sekali sekali rasanya sampai dadu akhirnya dilempar dan kemudian berputar – putar diatas meja.
“ sudahlah. Ini bukan cara yang tepat untuk memutuskan sebuah keputusan penting. Dadu itu tidak akan cukup mampu untuk memutuskan apakah kita akan menikah atau tidak “
Aku memperhatikan satu – satunya titik pada benda kubus yang membuatnya meninggikan suara tersebut. Dia menginginkan angka dua tapi dadu memberikannya angka satu.
“ dadu memang memberimu angka satu, tapi bukankah aku belum mempergunakan kesempatanku ? “ aku masih terus memperhatikan dadu yang tergeletak diatas meja dan tahu bahwa dia telah meninggalkanku dengan menyingkir ke jendela untuk menemukan jalan “ kita harus menyelesaikan permainan ini. Aku memiliki satu kesempatan untuk mendapatkan angka yang sama denganmu untuk diakumulasikan menjadi angka dua. Bukan begitu ? “
Perempuan yang diberikan takdir melalui nasib mendapatkan angka satu pada dadu itu telah tertidur pulas. Pekerjaan dan perdebatan panjang membuatnya menyerah. Aku baru saja berfikir untuk bercerai, menyelesaikan semua perdebatan kami perihal ketidak cocokan selama bertahun – tahun tapi aku mengurungkan niat tersebut. Donna Umaira, istriku selalu istimewa ketika tertidur pulas dan aku tak pernah ingin kehilangan itu. Bagiku dia memang pemarah, keras kepala, egois dan lain sebagainya tapi begitulah sifatnya, baginya aku juga sama seperti apa yang aku katakan padanya tapi itu tetap membuat kami memilih hidup bersama untuk lima tahun terakhir ini dan aku masih ingin terus bersamanya dan mulai berfikir untuk tidak lagi menekannya persoalan mendapatkan anak. Takdir telah ditulis dan manusia hanya perlu menunggu nasib digulir
Aku masih terus melihat kearahnya, mengocok – ngocok dadu dan melemparkannya dimeja. Sejak saat kami memutuskan menikah, angka satu adalah angka keramat milik dadu kami. Dadu menjadi begitu penting buat kami, bukan untuk membuat keputusan tetapi untuk menjadi simbolisasi nasib yang kami harapankan. Seorang dosen selalu membuat inisial dan mengancurkan kami pun melakukan itu, aku DA dan dia DU, kami adalah DADU. Sebuah ketidak sengajaan yang manis untuk dijadikan bagian lain dari keyakinan.
Dadu yang aku lempar berhenti, aku mengharapkan angka satu untuk melegitimasi keputusanku memilih sendiri tapi dadu memberi keyakinan lain. Aku ingin bersama – samanya dan dadu memberiku angka dua tanpa perlu untuk membangunkannya untuk memintanya menggulirkan dadunya untuk mendapatkan angka satu dan diakumulasikan menjadi dua. Aku mendekati dan membelainya pelan, aku ingat kalimat terbaik yang meredakan marahku beberapa saat yang lalu.
“ siapa dan bagaimanapun aku, hanya denganmu aku merasa menjadi layak. Hanya denganmu aku mampu menjadi dadu. Aku hanya ingin terus mengulirkan dadu hidup kita, bukan dengan dadu tetapi dengan mu, karena hanya denganmu aku mampu menjadi dadu “
“ kamu DA, aku DU. Kita DADU. Takdir-Nasib “
---
Ambon 20.07.10 – 3.10pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar