Senin, 11 April 2011

KAMU ADALAH SALAH

Dieng
Kita membungkuk saat angin bertiup terlalu kencang untuk dibendung. Kau membekap tubuhku yang terlalu kekecilan untuk pelukmu dan itu sungguh semakin membuatku berantakan lebih dari angin kencang dan cuaca buruk ini. Disisi kiri dan kanan kutahu kita tidak sendirian tapi aku seperti hanya merasakanmu. Aku merasa kita hanya berdua, sembunyi – sembunyi memaduh kasih disepanjang jalan kecil tanpa pembatas ini.

Mengapa kita harus sembunyi – sembunyi katamu. Apakah cinta bisa menjadi salah hanya karena persoalan waktu dan keadaan ? aku tersenyum, aku menggeleng. Sudah kuputuskan untuk memelukmu lebih erat dari sebelumnya, meredam pertanyaan dan kecemasanmu. Aku tak ingin masuk kejurang dan mati sebelum bercinta dengan wajar denganmu diranjang.

“ pram’ aku merasa sudah jatuh “

Aku berbisik pelan ditelingamu sambil memelukmu dari belakang. melingkarkan lenganku dilehermu dan menjatuhkan tubuhku diatas punggungmu. Sudah lebih dari satu jam kamu membungkuk disana, memandangi danau tiga warna yang kini hanya tersisa hijaunya. Aku bosan bila ditinggalkanmu sendiri walau meski sebenarnya aku tak benar – benar sendiri disini tapi alasanku berada disini semata – mata hanyalah kamu.

“ jatuh apa ? “

Seketika daun – daun berhenti bergoyang, riak air didanau danau yang bergunjang ditup angin tak perlu sampai ditepi untuk menjadi sempurna ketika kamu berpaling untuk menemukan wajahku, jarak kita dekat tak cukup sejengkal. Aku jatuh, aku merasa cukup.



“ Aku jatuh. Hanya jatuh. Jangan pernah kau tanya apa ‘Pram. Aku tak tahu ”
Sungguh aku hanya ingin mengatakan padamu aku telah jatuh. Aku tak mengerti sungguh tentang apa itu jatuh dan bagaimana akhirnya itu terjadi. Aku ingin bersama alam yang terlah kau bungkam, diam tapi aku tak ingin berhenti. Aku butuh mendekat satu kali lagi untuk menuhi keinginanku, aku ingin wajah kita tidak berjarak sama sekali. Aku ingin bibirmu, aku ingin melumatnya.

Udara dingin menusuk ulu hati. Tubuhmu masih berguncang menyusuri belokan – belokan tajam yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya kecuali hanya untuk berdekatan denganmu. Jalan kita panjang, berjam – jam sudah kita berjalan, bermil – mil sudah kita lewati. Kita seperti sebuah arak – arakan besar pasukan berani mati yang mencari medan tempur tapi sekali lagi aku hanya seperti merasakanmu, aku merasakan hanya ada kita berdua. Aku tidak menganggap kita akan pergi berperang tapi aku menganggap kita sedang pergi mencari tempat persembunyian yang aman untuk hati kita.

“ ini kali ketiga aku menjelaskan padamu bahwa ini adalah bagian dari riset yang sedang kami kerjakan, aka nada banyak orang disana dan kamu tidak perlu sibuk untuk berfikir harus mengantarku “

Aku menyadari betapa tinggi nada suaraku saat itu. Aku telah memaksanya untuk bungkam dan mengangguk. Aku memaksanya untuk setenang samudra walau kusadar hatinya lebih dalam untuk merasakan aku sedang seperti cacing kepanasan karena disiram dengan pertanyaan – pertanyaan yang sama seminggu terakhir. Kecemasannya beralasan, aku telah mengelabuinya karenamu.

“ kamu akan pergi selama tiga hari dan kita akan putus komunikasi selama itu. “ matanya tajam menyoroti mataku saat itu. Aku tahu dia sedang mencari sandaran atas kebenaran firasatnya. “ aku hanya takut ketika kamu dan teman – temanmu mencari kesunyian, kalian tidak akan pernah pulang lagi ketika bertemu dengannya. Aku takut kalian akan menjadi kesunyian itu sendiri. “

Ingin sungguh aku menarik urat leher lagi untuk mencercanya dengan sederet kalimat penolakan tapi ternyata itu memang sia - sia bila akhirnya kulakukan, kini aku merasakan kebenaran kata – katanya. Kini hatiku adalah kesunyian yang mengalir. Jasadku bersama tapi pandanganku jauh menembus batas cakrawala. Aku senantiasa mencari muara dan ternyata muara itu berada didalam kesunyian itu sendiri. Aku tak butuh beramai – ramai untuk mencari kesunyian karena ternyatapun aku menemukannya justru ketika perjalanan ini belum genap setengah jalan.

“ Kenapa kamu selalu suka tempat seperti ini ? “

Aku bertanya untukmu yang berdiri ditepian jalan dan memandangi lembah yang dipenuhi ladang kol. Untuk kesekian kali sudah perjalanan kita terhenti. aku sadar benar bahwa setiap pemberhentian terjadi bukan hanya karena kebutuhan untuk istirahat, makan atau apalah itu. Pemberhentian terjadi atas kehendak menemukan kesunyian, bagaimana mungkin kesunyian datang seramai ini ? bukankah kesunyian selalu datang untuk mereka yang menyendiri ?  aku sungguh bukan seorang pencari kesunyian sepertimu.

kamu menatapku penuh hangat, senyummu serupa selimut tebal yang berjanji menyelamatkan aku dari angin lembah yang memuncak. Aku sungguh seperti ingin meminta pertolongan padamu. Tolong jangan tatap aku dengan senyuman seperti itu, aku lemah, aku merasa semakin jatuh di lubang kesunyian yang sungguh tak sedikitpun kumengerti.

“ aku sering kesini, begitu juga beberapa anak – anak yang lain. Tempat seperti ini adalah rumah pulang, tempat tidur, tempat istirahat dari kota yang ramai dan otak yang ikut larut dlam keramaian. Tempat – tempat ini member nuansa dan aku merasa itu yang aku butuhkan untuk kembali hidup normal “

“ jadi kamu sedang merasa tidak normal ? “

Kamu kembali tersenyum. Kata tolongku tak kunjung ada. Aku merasa terus jatuh dan senyummu bertubi – tubi menyerangku seakan – akan kamu memang mengetahui kelemahanku. Kini senyummu ku anggap mengejek seperti layaknya sebuah senyum kemenangan.

“ aku merasa sedang butuh nuansa seperti ini. Aku merasa butuh pulang kealam untuk menemukan kemurnian. Hidup dikota membuatku penat, aku butuh ketenangan “

Hatiku kini adalah kesunyian, aku telah jatuh dalam kesunyian dan kesunyian itu adalah hatiku sendiri. Aku telah jatuh hati padamu, laki – laki penyendiri yang terlihat seperti benteng tinggi yang terbuat dari batu nomor satu didunia. Kata banyak orang kamu adalah guru besar filsafat tapi bagiku kamu lebih seperti guru. Aku bertanya tanpa keinginan untuk mendapat jawab kecuali untuk bisa memandangi dari dekat.

“ … apakah nuansa itu adalah kesunyian ? bukankah kesunyian datang sendiri – sendiri ‘pram ? “
Matamu yang sedari tadi berhenti padaku kini berpaling memandang puncak yang samar – samar terbungkus kabut. Matamu seperti meminta mataku mengikutimu, aku tak menemukan alas an untuk menolak, aku seperti mentah – mentah telah kamu kendalikan.

“ sungguh kesunyian bukanlah sesuatu yang mesti dicari. Hati kita adalah kesunyian itu sendiri. Kamu bisa menemukan kesunyian dimana saja tapi kesunyian akan terasa jauh lebih indah bila ditemui dalam ketenangan. Tempat – tempat seperti ini adalah ketenangan itu. “

Aku membuang pandanganku kekiri dan kekanan, berderet – deret orang – orang yang kukenalpun sedang melakukan hal yang serupa, mereka duduk, mereka bercerita. Ada kesunyian masing – masing yang berhasil dibawa bertemu meski kita berada dalam jumlah yang banyak. Aku baru sadar, aku berada didalam rombongan besar yang sebagian besar adalah teman – temanmu, orang – orang sepertimu yang tahu bagaimana caranya mengundang kesunyian datang. Aku merasa telah jatuh jauh dan sepertinya bukan hanya aku yang mengalami kejatuhan itu

Bila semuanya lancar malam ini kita akan sampai dipuncak katamu. Aku tak sabar untuk terlelap dipelukmu, menemukan pagio berkabut dengan terlebih dulu menemukan wajahmu. Katamu kamu akan membangun tenda untuk kita, berdua saja dan itu sungguh semakin membuatku cemas. Aku bertanya apa lagi setelah ini ? apalagi setelah kita pulang nanti ? apakah kita akan kembali menjadi masing – masing ? apakah aku akan kembali lagi melihatmu dari jauh, dari dalam pelukan laki – laki yang kini kutahu sudah tak lagi aku inginkan ?

Aku tidak peduli. Aku telah menemukan kesunyian. Aku telah menemukan apa yang aku cari dan seperti katanya, aku tak akan lagi pulang kepadanya.

Tuhan, sungguh aku tak pernah ingin berada dalam keadaan seperti ini. Tuhan, akupula tak sedikitpun ingin membawa namamu dalam dosa ini tapi kutahu engakulah satu – satunya yang berkuasa atas semua hal yang sedang kualami ini.

“ pram… “ aku berbisik

“ hatiku telah mengalir sejauh ini. Dan kini aliranku itu telah kandas padamu. Aku menemukan muara yang kucari, aku menemukan kesunyian yang selama ini aku inginkan. Aku ingin hatiku kandas disini, bersama cintaku yang tandas bersamamu dan tak akan pernah adalagi Tanya tentang hari esok karena aku tak akan pernah pergi kemana – mana. Aku ingin selalu berada disisimu, duhai kesunyianku “

Hatiku adalah kesunyian, kesunyian adalah kamu, kamu adalah hati dan kesunyianku. Aku berulang kali menggemakan namamu dalam hati. Kamu bertahta dalam semesta, kamu kini adalah langit dan bumi, aku memilikimu dihorison.
Selamanya dan tak akan pernah lagi mengalir.

Kesunyian ini hatiku, kesunyian ini salahku, tapi aku memilih kesunyianku meski kamu adalah salah.
---
Ambon, 23 Januari 2011. 05.40SH
ps: untuk pramadhani dan diengnya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar